Lima tahun lalu, dalam sebuah interview pekerjaan saya ditanya : what would you be in next five years? Kala itu saya perlu berpikir 20 detik sebelum akhirnya menjawab: saya ingin jadi manajer. Beberapa hari lalu saya ditanyakan hal yang sama dan tanpa berpikir panjang saya jawab : I wanna be a mom yang kemudian saya tegaskan menjadi “a working mom” yang disambut dengan tertawa oleh para interviewer. So far, saya belum mencapai sepenuhnya jawaban saya lima tahun lalu, tapi Alhamdulillah saya pernah dan sedang duduk di posisi manajerial, meski gak tinggi tinggi amat dan masih banyak ruang yang bisa saya perjuangkan, tapi saya sudah bersyukur.
Mungkin saya gak sekonsisten Andrea Hirata yang sejak kecil memang sudah bercita cita kuliah di Sorbonne, Perancis atau gak segigih Iwan Setyawan penulis Nine Summer Ten Autumns yang cuman punya satu cita cita yaitu punya kamar tidur pribadi hingga ia mencapai posisi Direktur di sebuah perusahaan kelas dunia di New York. Tapi buat saya perubahan itu wajar termasuk perubahan cita cita. Waktu masih kecil cita cita saya malah ingin jadi dokter hewan karena keluarga saya, pencinta binatang yang memelihara banyak hewan di rumah Lulus SMA lucunya malah saya nyaris tidak punya cita cita dan terdampar di Fakultas Perikanan, IPB.
Jawaban terakhir tadi, mungkin dipicu saya yang sudah mulai bosan dengan ambisi pekerja kantoran pergi pagi, pulang malem demi eksistensi diri. Saya sudah tidak punya banyak keinginan untuk jadi manajer besar apalagi direktur. Saya masih perempuan biasa yang tidak ingin kebablasan dengan istilah emansipasi. Masih pengen jadi Ibu, ngurus suami, anak-anak, mencoba resep ini-itu, sibuk dengan belanja bulanan dan harga sembako yang terus naik dan ngomel ngomel sama suami yang pulang telat. 😀 Biar begitu, saya masih selalu ingat pesan Ibu saya bertahun-tahun lalu bahwa apapun alasannya, seorang perempuan, ibu, istri harus tetap bekerja produktif yang menghasilkan uang. Ada fungsi “jaga jaga” disini, kita tidak bisa memastikan masa depan rumah tangga dari sisi ekonomi salah satunya jika suami kehilangan penghasilan utama. Kalau bukan istri yang menopang, siapa lagi?! Ini kejadian di keluarga saya, ayah meninggal dunia di usian 40an saat kami anak-anaknya masih dalam usia sekolah yang butuh biaya banyak, sementara keluarga tidak punya tabungan apalagi asuransi yang cukup.
Sekarang buat saya, mengamalkan, menggunakan dan menyebarluaskan ilmu yang saya punya untuk kepentingan banyak orang itu sudah luar biasa. Malah kepikir kalau sudah lebih mapan secara ekonomi saya ingin punya kegiatan sosial yang membantu anak anak putus sekolah. Kasian di jalan masih banyak anak-anak yang “dipaksa” mencari nafkah di jam-jam yang harusnya mereka duduk manis mendengarkan gurunya. Semoga yang ini akan tercapai dalam lima tahun ke depan, Amin. Sumpah, ini bukan cita cita sok idealis,..tapi masih sungkan dan malu aja kalo diomongin di sebuah interview kerjaan. Pun kata orang, kalo ada niat baik, katanya pamali belom apa apa sudah bilang kemana mana. *loh..kok ditulis di blog?* Hehehehe
Apapun itu, semoga lima tahun ke depan saya menjadi manusia yang berguna buat orang lain. Amin..
paling bingung kalo ditanya gini saat interview…
entahlah gue bukan orang yang tertata rencana masa depan gue atau gimana ntar ajah prinsipnya gitu kali yee… xixixi..