Sedekah yang menjaga keberuntungan…


Obrolan / Monday, August 12th, 2013

Sejujurnya saya agak ragu menulis tentang topik ini. Saya takut dikira pamer, dibilang riya, atau dikira ini cuma eforia sesaat. Tapi setelah dipikir-pikir sejak dulu, yang menjaga “keberuntungan” hidup saya mungkin cuma sedekah, jadi kayaknya boleh boleh aja deh ditulis yaa.. Hehehe.  Saya datang dari keluarga yang biasa-biasa saja secara ekonomi pun mungkin secara religi. Satu hal yang saya ingat dari almarhum Ayah saya, bahwa beliau sangat pemurah, sangat royal kepada siapa pun. Mungkin itu yang akhirnya menurun kepada anak-anaknya. Tidak pernah segan dan sungkan untuk berbagi. Berbagi dengan tanpa alasan.

Satu dua tahun terakhir ini saya senang membaca buku-buku tasawuf tapi yang lebih bernuansa pop, salah satunya adalah tentang sedekah. Awalnya saya percaya nggak percaya,  bahwa matematika sedekah sama sekali berbeda dengan matematika sekolahan. Begini, kalau kita punya 10, kita sumbangkan satu, secara matematika normal maka sisanya adalah 9. Tapi matematika Allah tidak demikian; 10-1=19! Kok bisa ? Ya, bisaa..  Coba buka Al Quran, Al –An’aam ayat 160: Barang siapa yang membawa amal baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat dari amalan itu. Bayangkan, 10 kali lipat!  Hitung sendiri kalau yang kita keluarkan lebih dari satu.

Beberapa kali, dan sering saya mendengar teman dan kerabat yang bilang: “Ya, Insya Allah ntar kalo ada rejeki lebih gw nyumbang…”. Bagi saya itu kalimat yang sangat tidak tepat, alias sudah nggak jaman. Kurang eksis, istilah anak muda sekarang.  Allah meminta kita bersedekah bukan saat kita lebih, bukan saat semua yang kita mau tercukupi, tapi justru dengan seada-adanya keadaan, kemampuan dan harta kita sekarang. Ada lagi yang bilang: “biar sedikit, gakpapa yang penting ikhlas. Lah, iyaa pasti ikhlas wong sedikit!!! Belajar ikhlas itu justru saat kita memberi yang menurut kita bernilai, berharga dengan jumlah yang menurut ukuran kita banyak bukan “sisa” dari apa yang kita punya. Adik saya, yang masih bolong-bolong sholatnya (yang ini jangan ditiru) tapi rajin banget sedekah bilang gini: Seninya ngasih orang itu justru saat kita pas-pasan bukan saat kita kelebihan duit. Ok, Noted.

Nggak percaya? Ok, saya stop teorinya…Tar dikira sok menggurui dan sok tahu. Saya sudah membuktikan sendiri.  Tadi saya sudah bilang, keluarga saya biasa-biasa saja kalau nggak enak dibilang pas-pasan. Tapi saya bisa lulus kuliah S1 dan Alhamdulillah gak sempet nganggur ketika baru lulus. Tapi kebiasaan memberi dan mementingkan orang lain yang lebih membutuhkan (baca: sedekah)-lah yang akhirnya saya analisis menjaga keberuntungan saya. Meski saya akui sedekahnya belum ada apa-apanya dibandingkan jutaan orang lain.

Dua tahun ini banyak milestone penting dalam hidup saya. Di akhir  2011 saya lulus tercepat dan menjadi salah satu lulusan terbaik di master saya. Saya pinter? Nggak juga. Standar. Tapi semua diberi kelancaran oleh Allah. Ajaibnya lagi, saya memulai kuliahnya di pertengahan 2010 dengan tanpa beasiswa (abis males nyari-nyari sih), dan saat itu saya nyaris tidak punya tabungan yang cukup untuk biaya kuliah yang puluhan juta itu. Puluhan juta. Saya kerja kantoran setiap hari, dengan gaji yang cukup saja (baca: gak gede-gede amat). Karena pertimbangan waktu, kalau kerjaan gaji lebih besar, waktu makin tersita dan kuliah makin susah/lama. Saya tidak tahu datangnya rejeki darimana, tapi saya tidak pernah terlambat membayar SPP dan lulus tepat waktu.  Yang saya ingat hanya hal-hal kecil bahwa apapun yang saya berikan ke orang lain, niatnya sedekah. Titik. Hal kecil, misalnya; saya selalu memberi ojek langganan saya jumlahnya lebih dari ongkos normal (padahal duit saya juga ngepas). Pekerjaan rumah yang bisa saya alihkan ke orang, saya bayar orangnya. Niatnya sedekah, ngasih rejeki.  Tidak lupa menyantuni keluarga yang rejekinya di bawah saya. 

Tahun 2012, niatnya saya harus punya rumah sendiri. Saya berani hunting rumah kemana-mana, dengan uang yang sangat tidak cukup untuk beli rumah. Mungkin cukupnya cuma buat ngontrak. Hehehe..  Setelah rumahnya dapat, perjuangan masih panjang. Tapi dengan konsistensi “rajin ngasih-ngasih” ke orang, ada aja rejeki. Saya juga tidak percaya tiba-tiba terkumpul hampir 100 juta dari hasil kerja, kerjaan sampingan, sumbangan keluarga bahkan mendadak dapat jatah warisan almarhum Kakek. Subhanallah. Bukan rumah baru saja, isinya juga semua serba baru, dan itu semua terjadi dalam waktu kurang dari 3 bulan. Ada yang bilang, mungkin rejeki saya sedang baik. Ya, saya percaya, tapi lebih percaya hal itu terjadi, karena sebelumnya tanpa sadar saya sudah membuka sendiri jalan rejeki itu dengan bersedekah.

Pada 2013, saya kepikir ingin pergi umroh dan beli mobil. Kayaknya agak muskil kalau keduanya didapatkan bersamaan. Ternyata bisa kok! Meski mobilnya masih nyicil, saya bisa bayar DP-nya melebihi estimasi saya sendiri. Sempat ragu, dengan tabungan yang ada, jika saya setorkan untuk mobil kemungkinan besar umroh terancam diundur. Tapi saya niatkan sekuat-kuatnya untuk umroh, tanpa melupakan keinginan saya untuk punya mobil. Dan ternyata keduanya terwujud dalam waktu kurang dari dua bulan. Maka nikmat Tuhan mana lagi yang bisa kamu dustakan ? Cerita umroh juga penuh perjuangan. Again, meski penghasilan saya cukup bukan berarti uangnya saya “makan” sendiri. Intinya nggak semudah setor sejumlah sekian dan besok berangkat.  Namun, rejeki mah adaa aja… Baru niat berumroh saja, tiba-tiba ada teman menawarkan pekerjaan tambahan yang jumlahnya menutupi biaya umroh.

Saya juga tidak tiba-tiba “ngirit” karena  punya niat ingin sesuatu.  Jatah mereka yang harus disedekahi tidak boleh berkurang, malah harus nambah. Jumlah sedekah harus lebih dari 2,5% per bulan. HARUS. Kita kadang kurang ngeh bahwa Allah menunjukkan di sekeliling kita, banyak sekali orang yang wajib kita sedekahi. Satpam komplek yang menjaga rumah kita, Ibu yang kerja di rumah, tukang sol sepatu keliling, pedagang  kecil barang-barang “gak penting” di pinggir jalan, penjaga toilet di tempat-tempat umum atau bahkan OB kantor kita sendiri.  Selain tentu saja sumbangan untuk anak yatim, bencana alam atau kegiatan-kegiatan sosial.  Ada juga sih, “kebaikan” lain dalam bentuk non materi yang saya pikir itu juga sedekah. Bagian ini mungkin tidak bisa diceritakan disini. Mungkin kalau ada program Sedekah Nasional, yang namanya kegiatan Bantuan Langsung dari Pemerintah sebagai ganti subsidi BBM, menjadi tidak perlu. Hehehhe

Saya bukan manajer keuangan yang baik, saya termasuk hitungan orang yang boros. Tapi Alhamdulilllah soal pekerjaan dan rejeki meski pun sedikit nyaris tidak pernah putus. Saya berani bekerja dengan sistem kontrak yang kelangsungannya kata orang tidak jelas, bahkan pernah berani resign dari satu pekerjaan meski belum punya bekal kerjaan baru. Tapi saya yakin, pasti ada jalan, dan Alhamdulillah saya belum pernah menganggur lebih dari dua minggu. Contohnya; Selepas dari pekerjaan saya di Aceh April 2009, saya nyaris jobless.  Tapi saya pikir saat itu, gakpapa.. nganggur 1-2 bulan istirahat kemudian semoga segera dapat kerjaan baru. Ternyata itu kelamaan, baru dua hari off, saya sudah dipanggil untuk meneruskan kerjaan yang kurang lebih sama. Kejadian lagi di 2012, saya resign dari satu kerjaan karena merasa tidak cocok. Jangan kira saya punya tabungan banyak sehingga berani-beraninya nganggur. Saya masih mengerjakan kerjaan freelance yang cukuplah buat hidup 1-2 bulan hingga dapat kerjaan baru. Ternyata gak sampai 2 minggu saya sudah ditawarin kerjaan yang sekarang

Kata orang, mungkin karena saya masih single, jadi berani mengambil apa-apa yang keliatan beresiko. Padahal nggak juga, yang saya punya cuma keyakinan kalau Allah akan menjaga rejeki orang yang rajin memberi. Satu lagi, kadang kita sibuk memikirkan berapa jumlah deposito atau tabungan kita. Kita sibuk memikirkan hal-hal yang belum terjadi dengan maksud “jaga-jaga” tapi berhitung dengan sangat cermat untuk memberi dengan alasan: “tunggu ada rejeki lebih”.  Padahal berbagi  di saat sekarang itulah yang menjadi deposito kita kelak. Sedekahlah yang menjadi penjaga kita untuk saat-saat darurat.

Terkadang pola pikir kita yang “katanya” sudah modern dan kenyang makan teori manajemen resiko harus sedikit “dimundurkan” ke belakang.  Tidak perlu pakai logika yang sulit dan njelimet.  Kekhawatiran kita akan hal-hal buruk jika kita berbagi secara tidak langsung kita mengecilkan kuasa dan janji Allah. Lalu, setelah bersedekah boleh gak kita ngarep balasannya? Jawabannya: Boleh banget dong! Kan itu janji Allah.  Innalaha la yukhliful mi’ad, Allah tidak pernah ingkar janji. Allah akan membayar janjinya di waktu yang tepat. Pasti.

Hal lain yang sering terlupa, sedekah adalah penjaga kelangsungan rejeki. Mungkin kalau kita memberi Rp 1 juta, kita tidak otomatis dibalas Allah, Rp 10 juta. Tapi bagi saya, pekerjaan yang tidak pernah putus, kesehatan jasmani dan rohani yang maha penting, teman-teman yang baik dan keluarga yang tanpa masalah adalah balasan yang lebih dari nilai 10 kali sedekah kita. Akhir tahun ini dan tahun depan saya masih punya beberapa resolusi. Mungkin kemarin-kemarin belum tercapai karena usahanya belum kenceng dan sedekahnya belum banyak. Saya makin berniat makin banyak bersedekah, agar resolusi dan niat itu kesampean.

No one become poor by giving…

Semoga memberi inspirasi.

In a flight to Palembang, 4 Agustus 2013

 

Hits: 535
Share

4 Replies to “Sedekah yang menjaga keberuntungan…”

  1. amat sangat setuju banget ama tulisan ini hihihihhihi….
    insyaAllah rejeki kita selalu mengalir kayak air dan tumbuh terus seperti kumis hahahah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *