Sampai detik ini Saya masih menyimpan timbunan mimpi untuk bisa melihat benua Eropa dan Amerika. Jika dipikir secara matematika, saya sadar untuk kondisi sekarang dan satu-dua tahun ke depan hal itu belum memungkinkan. Tapi kita tidak tahu, selama ada ikhtiar pasti ada jalan, dan sekarang saya masih dalam proses ikhtiar itu. Aaminn. Sejujurnya dulu masih merasa iri dengan beberapa teman yang bisa melancong ke benua-benua itu, baik yang bayar sendiri apalagi yang bisa gratis. Duh, saya kapan yaa.
Tapi sekarang, rasa iri-nya mungkin sudah jauh sekali berkurang. Kenapa? Karena di pekerjaan saya yang sekarang, saya sudah diberi “rejeki” melancong hampir di 2/3 provinsi negara ini. Meskipun “bungkusan”-nya dinas kantor, yang rata-rata hanya dua hari, saya merasakan bahwa saya makin jatuh cinta dengan Indonesia. Saya bukan mau bercerita soal Bali atau Yogyakarta yang memang sudah jadi maskot wisata Indonesia. Masih ada puluhan daerah lain yang sangat layak untuk dikunjung
Saya terlalu sering menulis tentang Aceh. Entah karena (pernah) ada cinta yang lain atau karena saya benar-benar jatuh cinta dengan budaya dan alamnya. Rasanya saya masih pede bilang, bahwa pantai-pantai di Aceh masih tetap yang terindah buat saya. Saya tidak akan pernah lupa pantai indah yang melingkari kota Kupang, pegunungan nan sejuk di Tolitoli, Sulawesi Tengah dan tentu saja Senggigi Lombok yang sudah ramai dengan wisatawan. Saya sempat terkagum-kagum dengan jembatan Barelang yang menghubungkan tiga pulau di Kepulauan Riau. Disana, saya juga baru tahu ada satu kampung yang selama puluhan tahun dihuni oleh pengungsi perang Vietnam yang akhirnya beranak pinak. Kampung kecil yang kini tak berpenghuni itu – telah menjadi salah satu culture heritage-nya Unesco- ibarat negara kecil di pulau kecil. Luasnya mungkin tidak lebih dari satu RW, tapi lengkap dengan rumah, gereja, pagoda, vihara, masjid, sekolah bahkan penjara dan pemakaman. Uniknya lagi semua bangunan tersebut diberi nama dan tulisan dalam bahasa Vietnam. Suatu saat di Pulau Samosir sambil memandang Danau Toba, saya pernah mikir apakah yang sering bolak-balik ngasih devisa ke Singapura (alias belanja) pernah mampir kesini? Gak yakin…
Mungkin sekali-kali kita boleh juga melancong ke Bukittinggi, kota perbukitan yang seolah-olah bertingkat di Sumatera Barat, makan Binde Biluhuta, bubur jagung di Gorontalo, mampir berfoto-foto di langit biru pantainya Manado. Hmm, liburan ke Belitung bisa juga jadi alternatif, pantainya yang perawan dan biayanya yang murah bisa jadi pertimbangan. Oya, jangan lupakan Tana Toraja di Sulawesi Selatan untuk menyaksikan kuburan batu yang satu-satunya di dunia. Masihhhh banyakk lagi tempat yang tidak kalah memorable-nya.
Sekarang saya bangga, saya pengen bilang rasanya ke teman-teman saya yang sering ke luar negeri. Hei, pernah gak sih keluar Pulau Jawa ajahhhh (selain Bali)?! Rugi lho, gak lihat Indonesia. Rugi Banget. Menikmati detail alam dan budayanya yang menakjubkan. Sudahkah membuktikan kalau Indonesia ini kaya dan luas seperti yang sering kita dapatkan di buku pelajaran sekolah?
Memang sih, pemerintah masih punya banyak banget PR membuat pariwisata Indonesia ini kinclong seperti negara-negara lain. Namun, tidak kalah penting lagi, – kalau bukan kita-orang Indonesia-, siapa lagi yang punya tanggung jawab mengenalkan negara ini. Jalan-jalan ke luar negeri memang seru, jadi tahu budaya lain dan alam yang benar-benar berbeda jauh dengan negara kita. Selain itu, bisa punya prestise yang jauh lebih keren dibanding jalan-jalan ke Medan misalnya, hehehe.. Jadi, biarin deh, yang banyak duit melancong ke luar negeri. PR kita sama-sama adalah membuat turis-turis mancanegara atau orang-orang lokal yang masih cinta Indonesia, untuk keliling negaranya sendiri. Deal?