Ketika menulis tulisan ini saya sedang duduk di sebuah coffee shop sebuah stasiun, ditemani secangkir latte hangat dan setangkup roti. Harusnya hari ini saya puasa sunnah Kamis namun sakit kepala tadi malam yang masih berlanjut di pagi hari membuat saya mengurungkan niat itu. *Ah, ngeles kamu..*
Di luar gerimis, baru saja saya menerobosnya tanpa payung. Dalam gerimis itu, saya melihat seorang bapak, memanggul puluhan sapu lidi dan menawarkannya di sepanjang jalan yang ia lalui. Bajunya yang basah koyak di bagian ketiak, tapi senyum masih tersungging di bibirnya.
Saya berkaca ke diri sendiri yang “katanya” dua bulan ini dalam posisi pengangguran. Tadi malam saya masih makan enak sepuasnya di perayaan ulang tahun sahabat saya. Minggu ini sudah berapa undangan sejenis yang saya hadiri. Duduk, makan, ngobrol, ngopi. Minggu depan rencananya saya akan berlibur ke Pulau Ora di Maluku atas sponsor seorang teman. Saya menikmati hidup ala orang urban. Sesuatu yang mungkin biasa di keseharian manusia kota besar, tapi sangat mewah bagi masih banyak golongan lain.
Saat bersamaan, saya sedang bingung memilih beberapa pilihan pekerjaan. Ya, soal kerjaan saya memang masuk golongan galau-ers. Ada pilihan yang oke, tapi masih menunggu proses birokrasi yang njelimet, ada yang juga bagus tapi lagi-lagi masih menunggu penawaran gaji, satu lagi masih proses seleksi biasa yang bisa jadi diterima bisa jadi tidak. Namun ada satu lagi yang sudah tinggal masuk tiba-tiba saya berubah pikiran membatalkan karena beberapa pertimbangan. Dan ini adalah yang kedua, karena dua-tiga bulan lalu saya pun sempat membatalkan satu pekerjaan yang kontraknya sudah ditandatangani cuma karena saya ingin lebih lama liburan di Amerika.
Hati saya terketuk, memandang cangkir kopi saya, merasakan nikmatnya yang seakan menjadi simbol kemapanan. Hanya sehasta dari tatapan mata saya, saya merasakan hidup yang begitu berat.
Mungkin hidup si Bapak pedagang sapu lidi lebih real daripada hidup saya. Dia menjalani kehidupan yang lebih nyata, sementara saya bisa jadi cuma hidup dalam kamuflase yang mungkin semu. Atau mungkin hidup itu seperti kopi. Pahit, getir terasa di awal, manis dan nikmatnya terasa di akhir.
Pagi ini, seperti beberapa pagi-pagi yang lalu, Tuhan mengirimkan orang lain untuk membuka mata akan indahnya bersyukur. Kata para bijak, manusia paling beruntung adalah mereka yang bisa membaca hikmah dari setiap kejadian. Pagi ini, seperti yang lalu-lalu, terima kasih Ya Allah yang tanpa bosan selalu mengirimkan pertanda untuk bersyukur. Hidup saya memang tidak sempurna, Semoga Allah selalu memberikan kelapangan rejeki untuk berbagi. Karena berbagi sama dengan cara saya menghilangkan beban atas dosa “kemewahan” hidup saya. Aamin..
Dalam hujan saya mendoakan agar si Bapak dagangannya laris. Saya percaya hujan adalah perlambang karunia. Hujan adalah waktu terbaik untuk memanjatkan doa.
Stasiun Juanda, 22 Januari 2015
Cantiknyaaa cerita singkatmu nyak.. Hidup kita sudah “sempurna” ketika detak jantung sudah hadir dirahim ibunda kita.. Life is blessings not duties… Jangan pernah letih utk bersyukur dan kau torehkan cerita2 cantikmu selanjutnya
Huliiee yang cantik…kita jadi syahrini aja,. maju mundur cantik… maju mundur cantik.. hahhaha
Uhuy…
Huhuhuu…..terharuu
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman [55] )
Alhamdulillaah…mamacih nyaak. Nyanyi yuuk