Rempongnya meladeni pejabat


Obrolan / Saturday, January 31st, 2015

Pernah merasakan betis pegel seperti habis membajak dua hektar sawah? Atau meladeni ponsel yang berbunyi nyaris setiap satu menit? Belum lagi ada kondisi yang membuat saya harus menyalakan ponsel selama 24 jam dan pada pukul 2 pagi,  hanya untuk menjawab pertanyaan: “Besok, Bapak pakai baju apa?

20130123_173933
Jakarta, Januari 2013

Ini adalah bagian pengalaman paling unik dan berkesan selama hampir tiga tahun bekerja di lingkungan Istana negara. Bisa dibilang, saat itu pekerjaan saya “serabutan”. Divisi saya mengelola satu aplikasi online pemantauan realisasi dan evaluasi APBN dan APBD yang membuat kami semua intens berkomunikasi dengan para pelaksana negara ini. Kami bergerak di hampir semua level, dari melakukan pelatihan untuk para peng-entry data hingga melakukan pendekatan kepada pimpinan di level Gubernur, Bupati dan Walikota agar meningkatkan kepemimpinannya terhadap upaya ini. Oleh karena itu, mengumpulkan para pejabat tersebut sudah menjadi kegiatan reguler saat itu. Dengan alasan penghematan, kami tidak boleh menggunakan Event Organizer, meskipun hampir semua kegiatan merupakan kegiatan nasional yang bisa mengundang hingga seribu orang! Jangan tanya honor, uang lebih didapatkan jika acara diadakan di luar kota (Jakarta), itu pun hitungannya uang perjalanan dinas (artinya termasuk transport lokal) dan uang makan. Jika diadakan di Jakarta, tentu saja tidak ada tambahan income, karena sudah dianggap pekerjaan sehari-hari.

Bergaya ala Menteri, Yogyakarta, Agustus 2013
Bergaya ala Menteri, Yogyakarta, Agustus 2013

Bayangkan repotnya mengurus semua tetek bengek yang bener-bener dari A sampai Z. Dari urusan materi, mencari pembicara hingga konsumsi semua dikerjakan sendiri. Dengan jumlah panitia rata-rata di setiap kegiatan hanya 30 orang, kami harus jungkir balik plus akrobat melayani hingga seribu orang. Walau pernah terjadi gesekan diantara panitia, lama-lama kami jadi mahir sendiri menyikapi semua tantangan. Belum lagi  beberapa kegiatan sering dibuka oleh Wakil Presiden dan jajaran menteri. Itu saja protokolernya sudah bikin ribet- bet, dengan pasukan khusus semua pernak pernik acara tidak ada yang lepas dari sensor mereka.

Bali, Desember 2013
Bali, Desember 2013

Tantangan pertama setelah proposal dibuat adalah menyebarkan undangan. Ini repot loh! Tidak semua daerah punya infrastruktur canggih yang bisa cepat menerima email/fax (yg dikirim via email). Ajaibnya beberapa daerah masih lebih mempercayai undangan yang dikirim via pos/kurir daripada yang melalui kabel. Jadi jika kami mengundang 450 Bupati/Walikota, bisa hadir 75% saja itu sudah merupakan prestasi besar. Bersyukur kita punya jaringan di 34 provinsi, mereka-lah yang menjadi kepanjangan tangan pihak pusat. Indonesia ini memang luas banget, bro. Pernah juga (malah dua kali) acara mengalami perubahan lokasi, setelah semua undangan terkirim. Akibatnya hampir semua proses harus diulang. Repotnyaaa… Oya, undangan dari Istana harus dibubuhi semacam emboss sebagai penanda  keaslian undangan yang kemudin ditukar dengan tanda peserta,

Jakarta, September 2014
Jakarta, September 2014

Tantangan lain adalah “meladeni” pejabat yang (seolah) sudah menjadi raja kecil di wilayahnya. Tingkah ajudannya pun beragam dari sibuk mengatur kursi pimpinannya hingga menelepon malam-malam hanya untuk menanyakan dimanakah toko batik yang buka 24 jam, karena si bos lupa bawa baju batik sebagai dresscode acara esoknya. Kalau soal pembagian kursi, ajudan-ajudan ini suka kreatip banget. Meski panitia sudah menentukan tempat duduk setiap undangan, mereka bisa seenaknya memindahkan nomer kursi agar si bos bisa duduk di sebelah teman dekatnya sesama pimpinan daerah yang lain. Keliatannya, sepele, tapi ini merepotkan banget dan mengacaukan peta duduk yang sudah dibuat njelimet oleh panitia. Note, posisi duduk ini penting banget dalam acara-acara yang menghadirkan pejabat negara. Perlu dicatat, karena mereka adalah orang-orang VVIP panitia harus memperlakukan mereka dengan customize, saya pun akhirnya hapal dan punya komunikasi yang baik dengan orang-orang di belakang mereka.

Gempor di Belakang Panggung
Gempor di Belakang Panggung

Ada beberapa Kepala Daerah yang mempunyai permintaan khusus. Seorang Gubernur pernah minta harus ditemani asistennya ke dalam ruang acara, karena beliau sedang dalam kondisi sakit lengkap dengan kursi roda sendiri. Ada yang minta ruang khusus untuk transit. Terkadang panitia memang tidak menyediakan ruang seperti ini, tapi para ajudan selalu repot menanyakan. Seringnya sih, ajudannya saja sih yang repot, ketika para pimpinan hadir mereka lebih sering berbaur dengan undangan lain, bukan ngumpet secara ekslusif di ruang khusus.

Paling repot adalah urusan penandatangan SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas), beberapa daerah sering menyebutnya dengan “visum”. Surat ini ibaratnya nyawa untuk melakukan perjalanan dinas. Tanpa pengesahan dari panitia pengundang, bisa-bisa mereka membayar sendiri semua biaya perjalanan dinas. Coba dihitung, jika kami mengundang 3 orang dari 450 kabupaten/kota, katakanlah yang hadir ada 1000 orang. Maka panitia harus melakukan pengesahan terhadap 1000 SPPD yang setiap dokumen bisa dibuat 3-5 rangkap!. Itu dilakukan manual!! Penandatangan SPPD pun tidak bisa oleh sembarang orang, haruslah mereka yang punya posisi struktural. Untuk hal ini saja harus ada 15 orang yang standby. Yang paling menyebalkan disini adalah, banyak banget undangan yang minta SPPD diberikan duluan sebelum acara selesai. Yang seakan menunjukkan mereka “cuma hadir” demi SPPD yang ada uangnya dibanding duduk mendengar pembekalan materi. Berbagai alasan mereka kemukakan untuk bisa pulang duluan. Tidak jarang panitia berantem dengan mereka-mereka itu. Hemm, saya gak bilang semua Pemda begitu ya, banyak juga kok yang antusias, tidak macem-macem dan bersemangat Semangat yang membuat saya yakin, Indonesia akan lebih baik di masa mendatang.

UNDP-1409-52

Seru, repot, capek tapi rangkaian kegiatan tersebut “ngangeni”. Mungkin besok-besok saya sudah tidak bersentuhan lagi dengan urusan pemerintahan, tapi semua itu tetap menjadi pengalaman penting bagi saya 🙂

Hits: 391
Share

4 Replies to “Rempongnya meladeni pejabat”

  1. Bagian yang kadang orang tidak diketahui saat menjadi PNS, dikiranya kerja PNS itu orang yang cuma duduk diam ongkang-ongkang gaji ngalir saban bulan… untungnya masih banyak yang insyaf kalo pns itu kadang kerja bakti, kerja ikhlas… hahaha malah curhat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *