Abis sakit bulan lalu, tingkat kesibukanku bukannya turun, malah tambah sibuk. Untungnya sekarang makin banyak yang bantuin gw di kerjaan rutin. Tapi yang bikin puyeng adalah masalah petinggi alias si bos yang menjunjung tinggi perfeksionisme (baca: perfeksionista) dalam setiap pekerjaan. Oke, secara sebenernya aslinya gue pun perfeksionis. Tapi perfeksionis yang begini sering melahirkan sejuta pertimbangan yang lama-lama tidak lagi menjadi pertimbangan yang esensial untuk satu keputusan. Setuju banget dalam semua hal kita emang harus memikirkan hasilnya, respon pihak ketiga dan segala dan dampak baik atau buruk yang akan ditimbulkan. Tapi kan gak harus takes time untuk hal-hal tidak terlalu prinsip ?!
Apalagi untuk waktu terbatas, dimana semua keputusan harus diambil cepat. Kenapa harus bertele-tele untuk hal-hal pendek selama esensinya sudah tersampaikan. Kalo masalah kekhawatiran mah, semua juga perlu dikhawatirkan dalam arti “dijaga” agar tidak terjadi hal-hal yang buruk. Tapi gak harus bawel dong buat urusan-urusan yang bisa jadi diliat-nya hanya dari kacamata sendiri ?
Capek!
Oh …I see…(kata bos satunya lagi)
bosnya juga aneh…
emang aneh…