Namanya Kurnia Rahayu, panggilannya Nia. Saya bertemu ia hampir setiap hari saat menyebrang Jembatan Semanggi menuju kantor saya yang berdekatan dengan Kantor Polda Metro Jaya. Awalnya seperti kebanyakan orang kota besar (yang cenderung cuek), saya mengira anak kecil ini hanya dimanfaatkan oleh Ibunya untuk meminta belas kasihan alias mengemis, tanpa harus bekerja keras. Sempat juga terpikir, ia cuma anak kecil yang “dijual” atau diculik kemudian dijadikan alat untuk meminta-minta. Tubuhnya kecil dan sangat kurus, sampai-sampai saya berpikir usianya baru tujuh bulan. Nia selalu tertidur di pangkuan Ibunya yang pun sedang hamil sembilan bulan.
Anehnya, sejak sering melihat Nia, hampir tiap malam saya kepikiran gadis cilik itu. Dilanda rasa penasaran sekaligus iba, besoknya saya nekad mampir dan sedikit ngobrol dengan ibunya. Kaget, karena Nia sebenarnya sudah berumur 2 tahun. Badannya yang kurus kering (BB hanya 5,5 kg) adalah akibat flek paru-paru dan gizi buruk yang dideritanya.Penyakit itu menganggu banyak organ yang lain, sehingga hampir tidak ada makanan yang terserap oleh tubuh. Miris, seharusnya anak seumur dia sedang dalam masa pertumbuhan yang lucu-lucunya. Keponakan saya seumur itu, kerjanya hanya bermain dan bernyanyi, bukan seperti Nia yang terpaksa dibawa ibunya duduk di tengah jembatan menunggu kantong uang mereka terisi, di tengah panas, debu dan asap knalpot Jakarta yang penuh polusi.
Saya coba menghubungi beberapa teman yang paham urusan jaminan kesehatan. Seingat saya, di salah satu tayangan TV, Mensos pernah bilang; salah satu PR besar pelayanan publik yang merata adalah perlakuan yang seimbang bagi warga RT 0 (mereka yang tidak punya identitas) Sementara Nia dan Ibunya pasti sulit mendapatkan surat keterangan pejabat setempat untuk mengurus BPJS, Jamkesda dan sejenisnya karena mereka nyaris tidak pernah menetap lama di satu pemukiman. Ibu Nia bernama Sri Maryati, tinggal di Bekasi, punya KTP Jakarta tapi sudah tidak berlaku. Suaminya seorang pengamen bis ber-KTP Kabupaten Bekasi dan sering beroperasi di seputaran Semanggi dan Blok M. Mereka mengaku tinggal berpindah-pindah, bahkan pernah menempati rumah triplek yang dibangun untuk proyek renovasi salah satu gedung masih di seputaran semanggi.
Saya juga sempat menghubungi Gubernur Ahok, melalui nomer teleponnya yang disebar dimana-mana. Alhamdulillah semua merespon positif, bahkan asisten Pak Ahok, menawarkan jika tidak punya KTP DKI, segera urus perpindahan atau Pemda DKI bersedia mengambil Nia untuk dirawat di Panti Sosial. Sementara itu, BPJS untuk warga kurang mampu bisa diurus di Dinas Sosial sesuai KTP masing-masing. Semua memang bisa diurus, sayangnya saya punya keterbatasan waktu untuk membantu orang tua Nia menugurus semua itu. Disisi lain, keterbatasan pendidikan dan pengetahuan membuat orang tua Nia “pasrah”, alias tidak tahu bagaimana dan kemana mengurus semua itu sendiri.
Saat bersamaan di berbagai media kita lihat, Presiden Jokowi langsung memberi kartu sehat buat suku anak dalam. Itu jelas-jelas gak dimintain KTP dan Kartu Keluarga kan? (**sst.. saya gak mau berdebat soal ini) Kenapa Nia yang sudah miris banget kondisinya, harus ngurus macem-macem surat lagi untuk dapat jaminan kesehatan? Ok, anggaplah saya yang masih minim pengetahuan soal hal ini. Tapi saya yakin masih ada ribuan Nia-Nia lain di luar sana. Anak-anak kecil tak berdosa yang jadi “korban” kondisi orang tuanya.
Karena belum punya waktu bantu ngurus surat-surat itu, saya bercerita kepada beberapa orang teman tentang gadis kecil ini. Alhamdulillah, ada beberapa teman yang tergerak untuk membantu walaupun jumlahnya tidak seberapa, minimal bisa membeli susu Nia sampai ada bantuan yang cukup untuk berobat. Sayangnya sih, kebanyakan teman (saya gak nuduh), berpikiran sama seperti orang Jakarta pada umumnya. Cuek, mengganggap itu cuma drama, orang tuanya pemalas, cuma mau enaknya aja duduk dapet duit..dsb..dsb. Saya paham banget, hidup di Jakarta memang harus penuh kewaspadaan dan itu wajar. Tapi bagi saya pribadi, membantu orang lain itu unconditional alias tidak bersyarat. Saya mencoba lebih banyak menggunakan bahasa hati daripada bahasa logika untuk kasus seperti Nia. Nia tidak salah, dia anak kecil tanpa dosa, jangan karena kesalahan dan kekurangan orang tuanya menjadikan Nia tidak berhak untuk sehat.
Singkat cerita, pada akhir pekan lalu saya bersama seorang teman berkunjung ke kontrakan Nia di Bekasi. Di rumah kontrakan sempit yang nyaris tanpa perabot, kecuali sebuah kipas angin dan kasur busa tanpa seprei, saya mendengar cerita bahwa kedua orang tua Nia sudah berusaha untuk memberi pengobatan yang layak bagi anaknya. Saat saya datang, sehari sebelumnya Ibu Sri bertemu seorang Ibu di pinggir jalan yang iba melihat kondisi Nia. Ibu itu kemudian membawa Nia ke seorang dokter dengan biaya yang ditanggung si Ibu. Namun Nia tetap perlu dirawat secara intensif di rumah sakit. Dokter menjanjikan memberi rujukan, dan si Ibu donatur berupaya membuatkan BPJS untuk Nia dan orang tuanya. Saya kemudian pamit, sedikit memberi oleh-oleh dan berjanji suatu saat akan main lagi mengunjungi Nia.
Kemarin, Ibu Sri menghubungi saya, Alhamdulillahirrabiilalaminn… sudah ada donatur yang mau menanggung biaya pengobatan Nia di RSUD Cibitung. Hebatnya, Ibu itu adalah sesama penumpang bis yang kebetulan melihat Nia bersama Ibunya. Saya ikut berucap syukur yang dalam, masih ada orang yang peduli. Saya mungkin belum bisa seperti Ibu itu, saya masih sibuk mikirin gimana caranya agar Nia bisa dapet pelayanan kesehatan dari Pemerintah, sementara si Ibu sudah bertindak lebih nyata.
Terakir, Ini bukan riya, ini cuma cerita kecil biasa, Wong saya juga belum ngapa-ngapain kok :p Namun minimal, moga-moga sedikit bisa melunakkan hati kita di tengah keras dan kejamnya Ibukota. Kalau saya, kepedulian -yang masih kecil bangett ini-, cuma cara saya untuk bersyukur dan cara saya menghilangkan rasa bersalah atas “kemewahan” hidup saya. Now, its depend on you….
*Berharap dibaca Ibu Mensos Khofifah….