Mendapat kesempatan bisa pergi ke tanah suci bulan ini adalah sebuah berkah yang luar biasa bagi saya. Selain punya rejeki yang cukup (baca: pas-pas-an), bisa cuti (dengan mudahnya), ternyata yang lebih besar poinnya keinginan yang mungkin orang bilang “panggilan” buat kesana. Saya sudah merencanakan keberangkatan ini sebenarnya sejak tahun lalu, tapi “nekad” pengen bener-bener pergi itu baru di Februari 2013. Dengan bekal tabungan yang belum cukup kala itu, saya niatkan survei mencari travel yang biayanya terjangkau dan paling penting terpercaya.
Akhirnya ketemu juga travel yang kira-kira sesuai dengan ekspektasi itu. Sayangnya, tanggal keberangkatannya sempat “dioper-oper” karena saya sendirian, sementara jamaah lain semua dalam grup. Singkat cerita, saya “diselipkan” ke salah satu rombongan yang semuanya dari Bandung. Belum lagi saya tidak dapat manasik, karena manasik diadakan di Bandung. Belakangan saya baru tahu, manasik buat umroh tidak terlalu penting, dengan membaca buku dan googling dan itu malah lebih dari cukup. Tidak itu saja, saya sempat terlambat menerima perlengkapan seperti koper, baju seragam dll. Selain karena memang informasinya telat dari travel saya juga tidak punya banyak waktu dengan intens menanyakan hal ini. Saya juga gak mau “heboh” apa adanya saja. Hampir tidak ada baju baru untuk kesana, kecuali satu gamis dan pengganti baju ihram yang kelunturan waktu dicuci :D. Uang saku juga baru cukup tiga hari sebelum berangkat, jadi saya tidak sempat mengamati kapan kurs real turun terhadap rupiah. Saya berusaha tidak berpikir hal yang bukan bagian penting dari ibadah, karena takut pamali dan kualat. Lillahitaala aja, kalau Allah mengijinkan berangkat, PASTI berangkat. Keliatannya memang rempong, tapi ternyata itu semua terbayar sejak berangkat hingga kembali, saya puas dengan pelayanan travelnya. Bahkan dari rencana 9 hari, jadi 10 hari dengan harga sama.
Saran beberapa teman yang pernah kesana, sebelum pergi harus memperbanyak sedekah, sholat taubat, sholat sunnah, dll memang mujarab. Meski tidak sempurna dan bolong-bolong saya mencoba menjalani itu. Benar-benar banyak kemudahan, seperti tamu bulanan yang hadir duluan (sehingga saya gak perlu minum obatnya rutin tiap hari selama 15-20 hari), dapat seat di pesawat yang selalu di koridor sejak pergi dan pulang. Ini karena saya hobi pipis, repot kan kalo penerbangan sekitar 10 jam harus bolak-balik ke lavatory dan melewati penumpang lain di kanan kiri. Disana pun begitu, saya hampir tidak pernah pipis ketika sedang di masjid. Tiba-tiba hobi ini hilang begitu saja, meski tiap saat minum air zam-zam. Teman-teman sekamar yang baru dikenal juga baik-baik bahkan sangat membantu beribadah. Dua diantara mereka ibu-ibu seumuran Ibu saya dan satu lagi ibu muda satu anak yang masih seumuran.
Oya, itu cerita bagus-bagusnya. Cerita yang jadi pengalaman batin juga ada seperti pake acara nyasar di masjid Nabawi kehilangan saf teman-teman karena sok tahu dan sandal kesayangan yang hilang sebelah berhari-hari tapi tiba-tiba nongol sendiri. Sempat juga ditegur oleh ibu-ibu berbadan besar dengan bahasa planetnya -karena saya sibuk membaca doa via HP di masjid- meski kemudian dia memberikan sebungkus cokelat dengan ramah.
Cerita paling berkesan tentu saja perburuan mencium hajar aswad. Selama di Mekkah, beberapa kali saya mencoba mencium batu suci ini bersama ribuan jamaah lain. Berdesak-desakan, tumpek plek, panas, terjepit seperti semua itu sudah tidak terasa lagi. Pada percobaan kesekian kalinya saya mendapat pertolongan dari seorang laki-laki berperawakan lumayan tinggi, berkulit putih dan berkacamata. Tiba-tiba ia begitu saja menarik lengan saya dan berusaha memasukkan saya ke dalam kerumunan manusia yang sudah naudzubillah penuhnya. Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Maju kemudian terdorong ke belakang menjadi “agenda” rutin bagi mereka yang berburu hajar aswad. Hingga 10 menit berlalu saya belum bisa juga mencapai hajar aswad, dan laki-laki itu masih berusaha membantu saya. Sampai akhirnya saya sendiri yang meminta untuk dilepaskan karena keliatannya situasi semakin tidak kondusif. Kemudian dia pergi begitu saja, sambil bilang: “Gakpapa, ya mbak.. “ Saya hanya termangu, mungkin sampai lupa bilang terima kasih. Akhirnya saya keluar dari kerumunan, untuk sholat searah dengan multazam mengakhiri perjuangan hari itu.
Saya ingat, semenit sebelumnya dalam deretan panjang doa saya di depan pintu ka’bah, saya memohon agar dipertemukan dengan orang yang baik untuk menjadi jodoh nantinya. Tiba-tiba saja, Allah mengirimkan laki-laki Indonesia tak dikenal itu. Saya tidak tahu dia siapa dan kenapa tiba-tiba ia memilih menarik saya dari gerombolan jamaah yang tidak terhitung jumlahnya. Meskipun tidak sempat berkenalan, pesan yang Allah titip dari kejadian itu luar biasa tertanam di hati. Bahwa jika Allah berkendak, maka seketika sekejap dan simsalabim akan terjadi. Kejadian kecil itu benar-benar membuka mata hati dan keyakinan saya lebar-lebar bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagiNya.
Akhirnya saya tahu, kenapa hampir semua orang yang pergi kesana selalu ingin kembali. Saya akan selalu rindu kedamaian masjid nabawi, tenangnya melihat tawaf di di masjidil haram tanpa jenuh dan indahnya berdoa di raudhah, multazam, hijir ismail bahkan hingga di jabal rahmah. Rasa capek, kaki yang pegel, udara yang panas, tidur yang kurang rasanya dibayar sangat lebih dengan indahnya beribadah di rumah Allah itu. Saya masih menyesal, karena sejujurnya disana masih banyak ibadah yang belum sempurna. Semoga Allah mengijinkan saya untuk bertamu lagi ke rumahNya, suatu waktu nanti. Amin..
tak ada tempat yang lebih indah untuk disinggahi selain Makkah n Madinah. takkan habis cerita dibalik syahdunya saat bermunajat kepada-Nya. saat-saat terindah bersamaNya.
[…] obrolan terakhir, ia banyak bercerita tentang perjuangannya menuju Baitullah. Setahun terakhir, setiap “pulang kerja” ia selalu menangis jika melewati sebuah masjid di […]
mmmm… semoga saya juga bisa mendapat “panggilan” menuju Baitullah..