Buat saya, landmark tidak selalu harus berwujud sebuah bangunan atau tugu atau semacamnya. Loh, boleh boleh aja kan? Meskipun saya sendiri belum tahu dengan pasti apakah landmark yang aslinya bahasa bule’ itu bisa diterjemahkan dalam bentuk lain. Contohnya angkot.. Saya yang sudah tinggal di Bogor belasan tahun, sudah lama mengganggap ciri khas Bogor itu adalah angkot ijo-nya, bukan lagi Kebun Raya, Tugu Kujang atau Istana Presiden. Hehehe. Ok, mungkin Bogor bukan contoh yang bagus buat ini, karena angkotnya sudah bikin sumpek dan bikin macet. Tapi coba kita lihat kota-kota lain di Indonesia, meskipun keliatannya agak ganjil, sebenernya ke-khas-an angkot di satu daerah bisa jadi landmark kota. Yah, paling gak bisa jadi alternatif sarana yang harus dicicipi oleh turis jika dikelola optimal.
Di Makassar, angkot disebut dengan pete-pete. Pengucapannya pete’ bukan seperti pete yang biasa kita makan (kita? ,eloo kaleee. :p), tetapi seperti “e” pada kata cewek. Jangan tanya saya asal muasal kata ini. Setidaknya ada 10 rute pete-pete di ibukota Sulawesi Selatan ini. Bandingin dengan Bogor, kota yang jauh lebih kecil tapi rute angkotnya sampe hampir 20 (dasar kota angkot!!). Pete pete di Makassar umumnya berwarna biru dengan pola duduk 4-6 seperti angkot pada umumnya. Dijamin rute-rute utama di Makassar dijangkau dengan pete-pete ini. Dari Makassar kita loncat ke ujung Sumatera. Di Banda Aceh, angkot disebut labi-labi. Agak beda dengan pete-pete, “kabin” labi-labi terpisah dari supir, dan kita naik dari pintu belakang. Dengan bentuk begini, labi-labi bisa memuat hingga 12 orang. Tidak ada warna khas dari labi-labi, tapi untuk menikmati Banda Aceh, sangat bisa dilakukan dengan naik kendaraan ini. Cukup sediakan Rp2000-Rp3000 kita sudah bisa muterin Banda Aceh. Oya, jangan lupa pencet bel atau ketok kaca pak supir kalau ingin turun ya..
Beberapa tahun lalu saya pernah ke Padang, ibukota Sumatera Barat dan terkesima dengan angkot mereka. Buat kalian yang mau kesana, jangan lupa mencicipi angkot ala Padang. Angkot Padang dicat warna-warni yang modis dengan musik yang bisa dibilang memekakkan telinga. Musiknya kencang yang didominiasi dangdut dan house music dengan sound system yang lumayan canggih. Sepertinya bis-bis antara kota di provinsi ini pun didandani serupa. Nama angkot di Padang umumnya dinamai dengan nama tujuannya akhirnya. Di Palembang lain lagi, kota di Sumatera Selatan ini menyebut angkot dengan Taksi. Umumnya angkot adalah mobil kijang, yang modifikasi menjadi mini bus (bukan duduk 4-6). Sebagian juga ada minibus carry Beberapa diantaranya dimodifikasi dengan kayu bukan baja pada umumnya. Kalau mau keliling Palembang dan berfoto di jembatan Ampera cukup hapalkan warna angkotnya, karena angkot di kota ini umumnya tidak mengenal nomor.
Nah, kalau di kota-kota tadi angkot punya rute khusus, hal yang sangat beda terjadi di Palu. Ibukota Sulawesi Tengah ini mempunyai bentuk angkot layaknya labi-labi di Banda Aceh. Tapi uniknya tidak punya rute khusus! Jadi kalau mau naik, ya naik aja.. Pak Supir dengan senang hati akan mengantarkan ke tujuan yang searah dengan penumpang lain atau menunggu giliran diantar jika lokasi yang kita tuju berbeda. Hihihi…
Yah, itulah sekelumit kisah tentang angkot. Masih banyak contoh-contoh lain, tapi saya memilih yang unik sendiri baik dari penamaan maupun bentuknya. Sebenarnya kendaraan publik ini bisa banget dikelola dengan lebih baik dan lebih unik agar jadi daya tarik wisata. Meskipun tidak mudah mencari diferensiasi secara khusus. Sudah saatnya kita gak usah sering-sering naik kendaraan pribadi, kalau angkot bisa dibuat lebih nyaman. Kalau di Manila ada Jeepney, tidak ada salahnya angkot di Indonesia dibuat lebih menarik. Murah, nyaman dan bisa menjangkau seluruh penjuru kota. Semoga bukan cuma mimpi..