Pagi pagi, sahabat saya Munardi yang lebih tenar dengan nama Alex (gak tau asal muasalnya darimana), sudah menjemput saya di depan mess dengan motor putihnya. Setiap akhir pekan, agenda kami adalah sarapan di warung kopi, menghirup segelas (bahkan kadang hingga dua gelas) sanger dingin yang nikmat dengan nasi kuning berbumbu khas Aceh yang terenak di kota ini. Selanjutnya bersama teman-teman kami menyusuri Banda Aceh hingga Aceh besar mulai dari Malahayati hingga Lhok Nga. Naik apa lagi kalau bukan naik motor.
Sebagai pendatang alias anak ibukota (uhukk..) yang haus hiburan, pantai dan warung kopi adalah tempat paling indah. Sayang, seringnya kami sendiri bingung mau kemana. Dan pagi itu, tiba-tiba saja kami memutuskan untuk menelusuri Jalan Malahayati-Krueng Raya. Selain jalannya mulus selicin wajah Ibu Atut, pemandangan di sepanjang perjalanan membuat lelah di boncengan motor menjadi tidak terasa. Dulunya, jalanan ini termasuk yang rusak parah karena bencana dahsyat tsunami 2004. Kini, infrastrukturnya makin cantik, dengan pemandangan gunung, pantai dan deretan rumah-rumah lucu yang diperuntukkan donor untuk korban tsunami.
Rynal, salah satu teman saya menawarkan untuk mampir ke Benteng Indra Patra. Benteng ini nyaris seperti bangunan tua yang senyap dan tidak terjamah. Sumpah, saya juga awalnya tidak tahu, Aceh menyimpan sisa-sisa budaya Hindu. Setahu saya Kerajaan di Aceh ya cuma Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam tertua. Namun, konon ini adalah peninggalan sejarah Hindu dari India di Aceh. Konon, situs ini didirikan sekitar tahun 604 M oleh Putra Raja Harsya yang berkuasa di India, yang melarikan diri dari kejaran Bangsa Huna. Benteng ini merupakan satu dari tiga benteng yang menjadi penanda wilayah segitiga kerajaan Hindu Aceh, yaitu Indra Patra, Indra Puri dan Indra Purwa. Pada masanya, benteng ini digunakan sebagai tempat pemujaan agama Hindu.
Semasa Kesultanan Aceh, benteng ini berperan sebagai salah satu garis pertahanan dalam menghadapi Portugis. Penataan bangunan, ruang-ruang serta posisi dari masing-masing bangunan dalam benteng memiliki fungsi -masing-masing. Saya bersama teman-teman sempat menaiki temboknya yang tinggi, duduk dan berfoto di lubang-lubang pengintaian sambil memandang laut lepas. Arsitektur benteng ini terlihat memang sudah maju, bahkan ada beberapa bunker penyimpanan senjata di beberapa titik. Dulu juga ada sungai buatan yang mengelilingi benteng ini, untuk menjaga serangan musuh dari daratan.
Memang sebagian besar benteng pertahanan yang ada di Indonesia terletak di tepi pantai. Tapi bagi saya sih, Indra Patra sangat istimewa. Posisinya yang tepat di pinggir pantai yang langsung menghadap Selat Malaka mampu memanjakan mata dan membuat perasaan terasa damai. Disini kita bukan hanya belajar tentang sejarah tetapi juga menikmati indahnya alam Aceh. Kalau jalan-jalan kesini, yakin deh sepanjang jalan kita akan disuguhi pemandangan indah khas Aceh. Perpaduan perbukitan dan sedikit gunung kapur di sebelah kanan jalan, berpadu dengan pantai di sebelah kiri jalan. Tidak jauh dari sana, ada Pantai Lhok Me; pantai berpasir putih dengan pepohonan di bibir pantai. Ada juga bukit Suharto dan Pelabuhan Malahayati yang sangat instagramable.
So, masih ragu-ragu buat ke Aceh?
Ternyata Aceh menyimpan sisa2 sejarah Hindu juga ya.. baru tahu nih..
Di Aceh ada juga benteng terkenal ya.. Bangunan benteng itu sebagai salah satu saksi sejarah di Aceh tentunya ya..
Ada dongggg…ayok ke aceh!
Ayo pulang ke aceh lagi kak vika
Soonnn……
ooh jadi kak vika ini orang aceh ya? 😀
ke benteng inong baleee.. benteng kuta lubok dll 😀
buanyak kak di krueng raya tu
bukaann… cuma cinta aja sama aceh… hahahhaa..