Sebenarnya saya ini bukan traveler-traveler banget. Kalau kata Rangga di AADC 2 (yang sukses bikin gagal move on), traveling itu kegiatan pergi ke suatu tempat, cenderung tanpa planning dan itinerary, mencari dan menemukan hal-hal yang orang lain tidak tahu dan lebih menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Sementara liburan lebih “nyaman” dari traveling. Tidur di hotel yang baik, itinerary-nya jelas dan lebih banyak santainya. Nah, gara-gara itu, saya tiba-tiba teringat, beberapa tahun yang lalu saya pernah traveling dari Banda Aceh ke Brastagi dan Pulau Samosir bersama beberapa orang teman. Mereka sahabat-sahabat saya sesama pekerja kemanusiaan pasca tsunami Aceh.
Bertolak dari Aceh ke Medan sih masih gaya horang kayah, alias naik pesawat. Padahal, kalau perjalanan darat Banda Aceh-Medan bisa ditempuh sekitar 12 jam saja. Nah, dari Medan ke Brastagi, kami benar-benar tidak punya clue harus naik apa. Kendaraan umum yang kami tahu cuma sejenis minibus sejenis L300. Untuk menuju terminal L300 ini kami naik taksi (baca: rongsokan taksi yang odong-odong banget). Kayaknya waktu itu kita lagi program pengiritan nasional. Petualangan pertama kami dimulai dr L300 itu. Bayangin, isi mobil kecil itu penuh banget. Dari inang-inang, tulang-tulang, sayur mayur bahkan hewan ternak. Perjalanan dengan kangkung dan ayam pernah saya rasakan beberapa tahun sebelumnya, ketika menumpang kereta ekonomi jurusan Jakarta-Pandeglang. Lumayan, dua jam menuju Brastagi sempit-sempitan di dalam kabin dan jauh dari nyaman membuat perjalanan itu menjadi tidak terlupakan.
Brastagi itu, udaranya mirip-mirip Puncak Bogor. Tapi tentu saja tidak super padat dan sesak seperti Puncak. Kami hanya mampir sehari di Brastagi, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Danau Toba dan Pulau Samosir. Dari Brastagi ke Samosir ditempuh sekitar empat jam. Kali ini, karena anggota rombongan bertambah, kami memutuskan menyewa mobil plus supir. Sepanjang jalan kami dimanjakan oleh pemandangan perbukitan yang indah banget. Selanjutnya Ajibata menuju Tomok (Samosir) kami menumpang kapal ferry standar penyeberangan nasional deh. Yah, gitu-gitu aja.. Panas, bangkunya keras, makanannya gak enak dan penuh sesak. Tapi karena jaman itu masih muda, masa yang berapi-api (emang sekarang tua banget apaah?), kami menjalani semua dengan ikhlas dan damai.
Kegiatan kami selama tiga hari di Samosir mulai dari muterin pulau pake sepeda, nonton tarian tortor, belanja sampai sholat Ied! Serius… kebetulan saat itu bertepatan dengan Lebaran Idul Adha, jadilah kami kaum minoritas di kalangan penduduk samosir yang hampir seluruhnya non muslim. Disini ceritanya!
Banyak cerita yang selalu saya kenang dari liburan singkat ini. Cerita tentang Aceh dan kehidupan saya dulu selama disana, tidak ada habisnya. Sahabat-sahabat Saya di Aceh dulu adalah orang-orang terbaik yang pernah saya temui. Harus diakui, mereka sudah memberi banyak warna dan mempengaruhi hidup saya. Perjalanan ke Samosir ini adalah salah satu rangkaian yang masih selalu saya kenang. Sayang kalau tidak diabadikan ke dalam satu tulisan.
Bolak balik ke medan tapi 1 impian gw yg belum kesampean yaitu ke samosir ihik ihik ihik
Ah..masa sih, om cumi yg blogger terkenal se dunia, belum pernah ke samosir ???
Kak Vika nih bikin pengen aja, pemandangan di Brastagi indah sekali 🙂 asyik ya sambil sepedaan ditepi danau.
Yg tepi danau, di samosir sih,…hihihi
Wakakakakakaka. Kak qoqod kurus banhet ya allah…
Bena dapet penyebrangan yang jam 20.30 malam. Jadi nggak bisa liat pemandangan apa2. Udah gitu lagi gerimis. Dan sedihny bena ngedekem dalem mobil karena nggak bisa kluar mobil sedikitpun akibat jalan yang sempit dan badan bena yg kegedean.
Bangkunya masih keras dan kursi kayu2 gitu. Bercampur opung2, inang2 dan anaknkecil yg terus menerus nangis. Allahuakbar.