Selain ngopi ngopi di pinggir kali, satu hal lagi yang paling aku sukai di kota ini. Apalagi kalau bukan Naik Becak. Jangan salah, becak yang dimaksud disini adalah becak yang ditarik dengan sepeda motor ya, bukan yang tenaganya tergantung dari genjotan si mamang. Kalo dihitung rata-rata, dalam satu minggu mungkin ada lima kali aku numpang di kendaraan ini. Kadang-kadang kalo kangen naik becak, aku sengaja tidak ikut jemputan kantor. Rasanya seneng aja berada disamping si abang becak dengan dengan semilir angin yang suwir suwir menyapu wajah di pagi hari. Jangan lupa pasar earphone dari HP untuk mendengarkan lagu lagu cengeng. Rasanya indah banget. Waktu 15 menit, jarak kantor dan rumah seolah-olah jadi moment penuh kenikmatan yang tiada tanding.
Dulu aku waktu masih tinggal di mess yang lama, yang cukup jauh dari pusat kota, aku punya becak langganan. Namanya Bang Imron. Becaknya keren, dengan motor Honda Tiger keluaran terbaru yang semua body-nya dicat biru tua sehingga menimbulkan kesan macho. Si abang-nya pun sangat ramah. Meski hampir semua keluarganya sudah hilang sebagai korban tsunami, garis-garis kesedihan di wajahnya seperti sudah tergantikan dengan semangat juang melayani penumpang (baca: customer) sebaik-baiknya. Bang Imron yang lumayan ganteng ini pun siap dipanggil ke rumah kapan pun. Tinggal sms, tunggu tidak lebih dari 15 menit, ia sudah siap mengantar kemanapun kita mau. Ke pasar, ke kantor bahkan pernah sampai ke Pelabuhan Laut yang lumayan jauh untuk menumpang becak, si abang siap sedia. Itu pun sebelumnya masih pake acara jemput jemput teman dulu. Jatah penumpang yang sebenernya hanya berdua bisa jadi bertiga bahkan berempat yang jadi berlima sama abangnya. Ketika Mama kesini setahun yang lalu, Bang Imron pulalah yang mengantar kemana-mana. Mengingat aku sendiri tidak punya banyak waktu untuk menemani Mama kemana-mana. Hebatnya lagi, ia sama sekali tidak pernah mematok tarif. Padahal naik becak di Aceh terkenal mahal jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang juga menggunakan kendaraan umum jenis ini. Di Medan misalnya, dengan jarak tempuh yang sama bisa lebih murah hingga 60% dibandingkan di Aceh. Karena pelayanan Bang Imron yang memuaskan ini, aku tidak segan-segan merekomendasikan jasanya ke teman-teman. Hasilnya, semua bermerasa senang atas service yang diberikan si abang.
Dua hari lalu, masih urusan becak aku bela-belain naik becak di tengah gerimis. Berharap ada kisah romantis yang pernah terulang seperti tahun lalu.
Sst…tapi bukan dengan abang becaknya loh. Siapa nyana, di tengah jalan hujan turun dengan sangat deras. Mau tidak mau harus mampir berteduh, kasian si abng basah kuyup dan aku pun mulai kecipratan air. Walau basah, moment berlindung sesaat di tukang sayur di pinggir jalan menjadikan aku semakin menghayati makna bersyukur. Indah saja.
Sekarang aku jadi sering membayangkan kalau kendaraan ini ad adi Jakarta atau Bogor. Tentu tidak dengan kondisi macet yang bikin orang makin tua di jalan. Naik becak di Sudirman ?. Tapi bisa jadi, Sudirman toh cukup teduh, asyik kalo bisa naik becak di sini. Hemm.. waktu yang paling oke mungkin sekitar jam empat sore, menjelang orang pulang kantor sambil ber-say hai jika berpapasan dengan seorang teman. Wow !!! Mimpi kali yeee. Ah… irama kota besar memang selalu mengurangi makna kekerabatan…
[…] http://www.vikaoctavia.com/2009/03/296/ […]