Susi Pudjiastuti, mendadak tenar beberapa minggu terakhir. Di kalangan para pengusaha, media dan akademisi yang terkait dengan perikanan, namanya sudah sangat tidak asing. Dulu, saat saya masih kuliah di IPB, Susi dan perusahaan perikanannya sudah tidak asing, karena sering menjadi rekomendasi tempat penelitian dan magang para mahasiswa. Ketika bekerja di majalah SWA, Ibu Susi beberapa kali menjadi responden sebagai panutan pengusaha sukses di bisnisnya namun tidak sukses makan bangku sekolah. Saya sendiri ‘nyaris lupa’ kalau saya sejatinya saya mengantongi ijazah sarjana perikanan jika Susi tidak menjadi menteri. Maklum, sejak masuk dunia profesional, saya sama sekali belum pernah bekerja yang berkaitan dengan perikanan dan kelautan. Hehehe..
Ada rasa bangga (atau lebih tepatnya haru), karena seingat saya, baru sekarang perikanan menjadi sorotan dan pemberitaan meski awalnya Bu Susi-lah yang menjadi incaran media. Setelah Susi datang, saya dan mungkin banyak masyarakat Indonesia melek kembali bahwa Indonesia bisa kaya dari hasil lautnya. Bayangkan saja, dua pertiga bangsa ini adalah laut. Sewajarnya Indonesia bisa kaya dari hasil lautnya. Lagu masa kecil; nenek moyangku seorang pelaut bukan cuma slogan, karena maknanya sejatinya sangat dalam. Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri, baru berdiri pada 1999, di masa pemerintahan Gusdur. Sebelumnya, sektor ini cuma nempel menjadi subsektor pada sektor pertanian. Lucu ya, katanya negara maritim tapi pemerintah sendiri baru beranjak serius membenahinya setelah 54 tahun merdeka. Tidak aneh jika akhirnya sekian lama kekayaan laut negara ini dicuri dengan damai.
Empat tahun saya dicekokin tentang masalah perikanan Indonesia, mulai dari illegal fishing, over fishing, pencemaran laut, nelayan miskin, pengolahan kurang modal hingga budidaya yang jalan di tempat. Namun, haru saya akui (untuk ini mohon maaf sebesar-besarnya), selama hampir satu dekade saya tidak mengikuti perkembangan sektor ini. Setelah menteri baru-nya yang tidak lulus SMA ramai diberitakan, saya kembali mencari tahu dan ternyata …*hmmm, masalah dunia perikanan Indonesia sekarang dibandingkan 10 tahun lalu masih itu-itu saja. Pernyataan ini silakan didebat, mungkin saya miskin pengetahuan soal ini. Semoga tidak terlalu ekstrim pula jika saya bilang dunia kelautan dan perikanan di Indonesia cenderung jalan di tempat setelah berganti Presiden tiga kali dan beberapa menteri dengan kemampuan yang pasti di atas rata-rata.
Kemudian datanglah Susi yang membuka kerak-kerak masalah itu dan berjanji akan menuntaskannya hingga lima tahun ke depan. Banyak pihak menyangsikan kemampuan beliau tentu saja alasan utamanya karena pendidikan formalnya yang jauh dibawah menteri-menteri pendahulunya. Gayanya yang slenge’an, gaya bicaranya yang ceplas ceplos serta gerak-geriknya yang jauh dari gaya pejabat pada umumnya, membuat perubahan paradigma sosok pejabat yang selama ini tertanam di benak hampir semua orang. Jika melihat bisnisnya yang hanya bermodal semangat dan kini berkembang pesat, tidak salah jika lebih banyak yang mendukung.
Sama seperti orang kebanyakan saya memilih untuk mendukung Susi daripada belum apa-apa sudah bersikap sinis. Walaupun tergolong orang yang education minded., Saya masih percaya banyak nilai-nilai kecerdasan dan kehidupan yang tidak ada di buku dan diktat kuliah. Sayangnya, pengalaman membuktikan masih ada saja (baca:banyak) orang yang saya temui memandang kemampuan seseorang dari apa yang dia punya di atas kertas. Misal ijazah lulusan perguruan tinggi luar negeri yang lebih berharga dari lulusan lokal. Saya tidak memungkiri mutu pendidikan di luar negeri relatif lebih baik dibanding dalam negeri. Saya juga menyesal, belum sempat berburu beasiswa di negara asing. Tapi rasanya sedih dan miris saja jika poin ini dijadikan prioritas sehingga mereka (para lulusan luar negeri) punya kesempatan lebih luas bahkan renumerasi yang lebih baik, padahal untuk satu pekerjaan yang sama. Yang sekolah bener saja masih sering dianggap begitu, apalagi yang tidak sempat sekolah. Kemampuan analisis, manajerial, sosial dan kemampuan lain kadang tertutup oleh selembar ijazah berstempel luar negeri.
Akhirnya banyak yang dipandang “sebelah mata” , pemikiran dan ide mereka pun sering dianggap sambil lewat karena “casing” nya tidak sebagus mereka yang mengenyam pendidikan di luar negeri.
Sudah umum juga jika sekarang banyak lulusan baru dari universitas terkemuka, ber-IP tinggi dan segudang prestasi bisa melenggang mulus bekerja di perusahaan maupun lembaga terkemuka. Wajar banget.., itu merupakan buah dari hasil kerja keras mereka selama kuliah. Namun lagi-lagi sangat disayangkan, banyak diantaranya yang lupa untuk meng-upgrade kemampuan beretika dalam lingkungan sosial dan lingkungan kerja. Akibatnya, berjatuhanlah korban seperti Ibu Susi yang dipandang sebelah mata oleh mereka yang punya segudang prestasi akademis. Di beberapa kasus, saya juga sering menemui mereka yang “sulit dimengerti”. Artinya, banyak hal yang sebenarnya seperti matematika sederhana 1+1=2, namun dirumuskan menjadi seperti ini : 1+1+3-2-0=2 dan seterusnya. Kata Prof. Rhenald Kasali dalam buku terakhirnya (Self Driving) : orang-orang berpikir semakin kompleks akan tampak semakin berbobot. Semakin tidak dimengerti maka akan dinilai semakin hebat. Para manajer selalu sibuk dengan urusan rapat dan dengar pendapat, semua orang diminta berbicara sehingga waktu habis untuk acara itu-itu saja. Ternyata Simplicity is a hardwork!
Dan… kemudian definisi cerdas pun bergeser, semakin rumit penyelesaian satu masalah, maka semakin cerdaslah mereka yang ada di dalamnya. Lucunya kaum terpelajar seperti ini memang senang bermain dengan ekplorasi. Senang mencari jalan panjang untuk membereskan sebuah masalah. Bisa jadi ini akibat dari banyaknya teori yang sudah mereka telan. Saya sama sekali tidak mengindikasikan itu sebagai hal yang buruk. Namun di banyak situasi, terlalu banyak pertimbangan justru menunda pengambilan keputusan.
Pada sebuah kesempatan, Presiden Jokowi pernah berujar: masalah krusial di negara ini bukan urusan peraturan tetapi urusan pelaksanaannya di tingkat bawah. Saya bangga dengan kabinet Pak Jokowi, meski belum sempurna, tapi banyak “orang-orang lokal” di dalamnya. Asikk, Pak Presiden tidak luar negeri minded!
***
Kembali ke Ibu Susi, di masa kepemimpinan dia yang baru seumur jagung. Terlalu dini untuk menilai apakah beliau berhasil atau tidak. Namun, masyarakat menaruh harapan karena sudah lelah dengan mereka (baca: pejabat) yang berpikir too complicated yang ujungnya malah tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan. Saya percaya Indonesia memang butuh orang gila seperti Bu Susi. Dia cerdas, pelahap buku tapi tidak kemakan teori. Dia membuat teori baru melalui apa yang dia jalani. Itu harganya jauhhh lebih mahal dari selembar ijazah. Dia bisa menjadi tempat belajar untuk menghargai orang lain yang tidak sempat bersekolah tinggi. Bahwa hidup ini tidak instan, bukan seperti kuliah, dapat nilai tinggi kemudian jadi bos dengan mudah di perusahaan ternama. Saya percaya mereka yang lahir dari bawah akan lebih mudah menghargai orang tanpa embel-embel kamu kuliah dimana dan berapa IP-mu.
Hadirnya Bu Susi juga memberi secercah harapan baru –seperti teori-teori kuliah saya dulu- bahwa perikanan dan kelautan bisa jadi tulang punggung bangsa. Akan lebih baik lagi jika lulusannnya benar-benar tertampung di bidang ini, tidak selalu menclok ke bank seperti yang sekarang menjadi realita. Semoga perikanan menjadi ikon yang menarik dan menantang. Kini, tugas kita untuk terus mendampingi dan mengkritik Beliau.
Setuju….pemikiran indonesia banget yg mentingkan ipk, lulusan dr mana, dll. Semua itu dibuat jd strata kehidupan seolah2 yg ipk rendah, ga bisa sekolah selamanya harus jd kaum hinaan. Btw, ada sedikit curcol jg disini hahahahhaha