Ada yang berbeda dari teror bom di Jakarta, 14 Januari 2016 lalu dengan aksi-aksi serupa sebelumnya. Saya awalnya cemas, bukan hanya cemas tentang keselamatan diri sendiri dan keluarga, namun juga cemas akan pengaruhnya kepada ekonomi kita yang baru merangkak naik lagi. *Duh, bahasa gw berat banget ya…udah kayak pejabat keuangan negara. Hehehe.. Tapi serius, teror-teror bom sebelumnya benar-benar berdampak bagi berbagai aspek di negara ini. Dari nilai rupiah yang jeblok, kunjungan wisatawan yang turun dan yang rusaknya kepercayaan dunia luar terhadap Indonesia. Belum lagi “tatapan” orang asing terhadap bangsa kita yang “seolah-olah” semuanya adalah antek-antek teroris. Tidak heran, beberapa negara besar “mempersulit” memberikan Visa kunjungan kepada WNI apalagi bagi mereka yang memiliki nama berbau-bau Arab dan Islam.
Namun semangat yang lain saya rasakan setelah tragedi 14 Januari 2016 lalu. Rasa cemas yang dulu-dulu selalu hadir di peristiwa serupa, justru melahirkan rasa optimis, bahwa kita mampu mengenyahkan teroris dari muka bumi Indonesia. Kehadiran Presiden Jokowi hanya beberapa saat setelah kejadian, ketika lokasi belum sepenuhnya steril, tanpa baju pelindung, berjalan gontai namun tetap tegas seolah menjadi simbol bagi dunia luar. Jokowi ingin menunjukkan jika Ia saja berani, lalu tidak ada alasan bagi rakyatnya untuk tidak berani. Seingat saya, di peristiwa-peristiwa sebelumnya Presiden-presiden terdahulu tidak hadir langsung setelah kejadian. Kemudian, di sore harinya mulai muncul berbagai macam tagar di sosial media untuk menunjukkan bahwa kita tidak takut dengan segala ancaam teror ini. Sungguh, ini adalah sesuatu yang akhirnya membuat rupiah tidak jadi terpuruk. Berbagai rumor yang menyebutkan ini adalah sekedar pengalihan dari beberapa isu pun akhirnya tidak terbukti.
Lepas dari berbagai ironi, antara musibah dan realita satir -seperti pedagang asongan yang cuek beralu lalang, masyarakat yang asyik menonton aksi baku tembak, tukang sateng yang tetap eksis jualan atau obrolan tentang polisi ganteng-, bagi saya teror yang dilakukan entah siapapun itu kemarin bisa dibilang gagal. Jika dilihat dari jumlah korban, justru korban dari terduga pelaku yang lebih banyak daripada masyarakat sipil. Ini satu-satunya yang pernah terjadi di dunia! Memang, sedikit atau banyak jumlahnya, ini tetap masalah nyawa, bukan bahan becandaan. Namun kalau dihitung-hitung toh metromini “membunuh” masyarakat lebih banyak setiap tahunnya. Hehehe.. Ya secara sederhana apa yang perlu dikhawatirkan, jika “kekejaman” lain seperti metromini tadi sudah biasa ada dalam keseharian orang Indonesia. Yang lebih berbahaya justru adalah kekhawatiran rusaknya ideologi bangsa karena aliran-aliran sesat yang dibawa oleh para teroris.
Ada lagi yang bilang, bahwa aksi dan kampanye di sosial media dengan tagar #KamiTidakTakut, sebenarnya hanya sebuah kamulflase dari rasa takut yang terselimuti. Saya kok tidak setuju ya, saya yakin dasarnya orang kita adalah orang-orang yang berani dan kuat. Kita bukan bangsa yang manja, karena hidup di negeri ini nyaris minim fasilitas tidak seperti negara-negara maju. Adalah salah pula, jika dikatakan aksi di sosial media ini justru akan membuat kita lupa akan kewaspadaan jika hal serupa terjadi. Hey,..masalah kewaspadaan, keamanan serahkan urusannya kepada yang berwenang, yang bisa kita lakukan satu-satunya adalah mempererat persatuan diantara kita dan sosmed adalah salah satu media untuk itu. Ada yang salah? Gak kan? Tidak Takut dengan Tidak Waspada adalah dua hal yang sangat berbeda. Justru masyarakat sebenarnya marah namun cara pengungkapannya yang berbeda.
Ketika Paris dibom beberapa waktu lalu, media-media disana memunculkan berita-berita yang membuat situasi makin mencekam. Paris Under Attack yang kemudian diikuti oleh pernyataan Presiden Perancis yang mengatakan: We are at War. Memang, secara jumlah korban bom Sarinah kemarin jauh lebih sedikit dibanding Bom Paris. Namun lagi-lagi ini masalah nyawa bukan hanya jumlah. Lalu, apakah Presiden kita mengeluarkan pernyataan serupa? Tidak! Presiden Jokowi justru seolah menantang dan mengajak masyarakat bersatu bersama-sama memerangi teroris. Bagaimana dengan media? Ini dia hebatnya, meski beberapa media memang suka lebay, namun sehari setelah kejadian, hampir semua media justru memunculkan rasa optimisme masyarakat yang besar untuk melewati semua ini. Kita pun saling meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Bahkan di Facebook ada gerakan untuk tidak menambah banyak posting foto-foto kejadian dan korban yang dikhawatirkan juga akan membuat heboh. Meskipun akhirnya yang muncul justru meme-meme lucu yang kadang memang agak garing yang sedikit lepas dari fokus kejadian yang sebenernya. But, it is Indonesia!
Berkaca dari banyak kejadian, bangsa kita ini justru makin erat bergandengan tangan jika terjadi bencana. Sebagai contoh, saat tsunami 11 Tahun lalu semua datang ke Aceh untuk saling membantu, tanpa melihat suku, bangsa, agama, ideologi apalagi partai. Sebelas tahun berlalu, Aceh lebih maju.. Tapi kita justru nyaris terpecah belah, karena perbedaan “pandangan” yang tidak seberapa penting. Sibuk mencaci maki, sibuk mencela, sibuk menjadi haters, sibuk berburuk sangka. Kini, ketika musibah terjadi lagi dalam wujud yang berbeda, terasa bahwa kita sejatinya masih punya rasa solidaritas yang tinggi. Ya, kita harusnya banyak belajar tentang persatuan dari bencana dan musibah.