Mpok Depoy bilang waktu dia pulang ke Jakarta minggu lalu, keponakannya yang berumur 6 tahun merengek minta nonton AAC. Dari seminar minggu lalu di Unsyiah, moderatornya menyarankan seorang penanya untuk nonton AAC (gue lupa pertanyaannya apa), yang jelas sama sekali gak nyambung dangn topic seminar soal monitoring dan evaluasi proses rehab rekon di Aceh. Kemarin sore, Pak Eddie muter rekaman dia waktu main piano soundtrack ayat-ayat cinta (ah,..so sweet). Waktu aku bulan lalu ke Jakarta pun, Uni Novi nitip CD soundtracknya.
Gue juga sih, waktu pulang kemaren sampe lima kali nyanyi soundtrack itu di HP, Fatmawati (biasa, narsis…). Gara-gara lagi booming juga, orang-orang di ruangan meng-copy file bajakannya. Begitu juga di beberapa milis yang aku ikuti. Semua seolah-olah ingin memberi komentar yang paling benar. Katanya wapres bela-belain nonton di PS dan kabarnya lagi film ini bakal dibuat versi extended-nya, alias memasukkan kembali scene scene yang sempat tidak dimunculkan. Kata beberapa orang yang nonton belakangan, sekarang ngantri-nya panjang dan melelahkan. Wah, untung aku nontonnya waktu baru naik, jadi masih sepi malah banyak bangku bangku yang kosong.
Cerita-cerita sebagian penonton, berkesimpulan : “cerita yang mengharukan”. Tak sedikit yang tanpa segan-segan menitikkan air mata. Apalagi pas adegan Fahri menikah dengan Maria di Rumah Sakit dan Aishah berlari ke luar kamar dengan membawa hati yang “hancur”, dimana ia harus mengikhlaskan suami yang begitu dicintainya menikah dengan wanita lain di depan matanya, karena kondisi yang tiba-tiba memaksa itu harus dilakukan. Tapi aku, yang mungkin (baru mungkin, lagi) kurang sensitif, gak sempet pake acara nangis. Bahkan aku coba nonton lagi filmnya (versi bajakan) tetap gak nangis juga 😛 . Mungkin otakku sudah diprogram untuk bilang: masih banyak hal menyedihkan yang lebih layak “ditangisi” (hehehe). Bagiku sendiri film itu tidak terlalu melahirkan “chemistry” yang dalam. Bisa jadi karena aku buka movie freak, hanya seorang book addict, yang mungkin chemistry sudah abis waktu baca bukunya. Mungkin juga (masih mungkin) aku udah terbiasa mengikhlaskan apa-apa yang memang (sudah jadi takdir) bukan untukku. Mungkin juga karena aku menganggap pengorbanan adalah hal yang jamak di dunia ini. Apalagi “hanya” berkorban demi kebahagian orang lain atas nama cinta kek, ketaatan kek, atau apalah yang lain.
Ya, okelah..filmnya bagus, soundtrack-nya juga keren. Palingan aku cuman senyum penuh penghayatan untuk beberapa quote bagus di film itu. Misal: “Allah sedang berbicara dengamu, Fahri, Allah sedang mengingatkanmu untuk tidak sombong, maka mintalah kepadaNya” Atau adegan di tepi sungai Nil, kata Maria: “Semua orang diciptakan dengan jodohnya”, atau “tidak pernah orang hidup minta susah, tetapi ketika ia datang, kepada siapa kita harus kembali?”. Sorry kalo kutipannya kurang tepat.
Selebihnya, aku malah berfikir tentang arti pengorbanan yang sesungguhnya karena menonton film itu. Pengorbanan atas nama cinta dan ketakwaan kepada Allah SWT yang dilakukan dengan keikhlasan tingkat tinggi meski hati hancur berkeping keeping. Itu mungkin hanya dimiliki oleh sangat sedikit perempuan di muka bumi ini. Tapi bisa jadi perempuan-perempuan lain pun akan menjadi Aishah Aishah baru jika terjebak dalam situasi seperti yang digambarkan dalam film itu. Untungnya (semoga) situasi yang begitu pelik itu hanya ada di novel atau film (hehehehe…)
Satu lagi, aku pikir laki laki innocent, lugu dan merasa tidak sempurna itu hanya Fahri atau Azzam- tokoh lain rekaan Habbiburahman di Ketika Cinta Bertasbih-. Ternyata informasi dari Jolie : Ada. Hahahahha…hebatnya lagi, dia ada di lingkungan yang begitu sarat godaan duniawi. Yang katanya selalu sholat di tengah riuh rendah suara musik. Masih menyempatkan sholat taubat sehabis show yang mencampurkannya dengan lawan jenisnya. Konon (konon loh), tidak pernah bersentuhan hingga “never been kissed” dengan teman wanita-nya. Masya sih ?? Padahal dia ada di dunia hingar bingar dengan pergaulan yang mampu meluluhkan iman. Siapa lagi kalo bukan si bulet bulet lucu itu. Hahahaha… Salut deh! Alhamdulillah masih ada dan semoga masih banyak laki laki seperti itu meski bukan dari kalangan pesantren.
Vik, gue jadi penasaran si bulet bulet lucu itu siapa?? emang hari gini ada ya di sunia nyata yg kayak tokoh fahri? kenalin dunk..he..he..
Dear,
Ayat-ayat cinta… film yang membuat diriku yang berada di kota kecil neh penasaran…seperti apa seh film yang membuat heboh dunia film Indonesia itu? Maklum bok.. ndak ada yang namanya bioskop disini…
Bagus seh… tapi kenapa ya, endingnya seperti film2 Indonesia lainnya… terlalu mudah.. masakan penyelesaiannya dengan ‘membunuh’ salah satu tokoh? Coba kalau tetap hidup…. he..he.. just my opinion….
Salam