Commuter Line, Pajak dan Pilpres


Opini / Friday, July 25th, 2014

Akhir-akhir ini saya sering sekali ngedumel akan buruknya pelayanan PT KAI untuk KRL Jabodetabek. Ini terlepas dari bahwa saya tetap salut dan menghargai perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh PT KAI beberapa waktu belakangan. Kini, semua stasiun sudah lebih nyaman dibandingkan dua tiga tahun lalu, pedagang asongan pun tidak memenuhi gerbong kereta lagi. Terobosan terbesar tentu saja membuat tiket KRL elektronik yang bisa menghemat ongkos perjalanan turun hingga 50%. Bravo Pak Ignasius Jonan dan Pak Dahlan Iskan!! Namun satu hal yang masih mengganjal adalah masih seringnya Commuter Line (CL) “mogok” karena antrian panjang di Stasiun Gambir, Manggarai atau terjadi kerusakan sinyal tiba-tiba yang sering terjadi setelah hujan deras. Kalau antriannya hanya sekitar 10-15 menit sih masih bisa dimaklumi. Saya sering kali bernasib sial menunggu lebih dari satu jam bahkan pernah rekor hingga 2,5 jam!! Bukan  lebay, dua hari lalu saya terpaksa menunggu antrian menuju Manggarai hingga 1 jam 45 menit dari stasiun Cikini yang biasanya ditempuh hanya dalam waktu kurang dari tiga menit! Kereta sungguh penuh sesak, AC digantikan oleh kipas angin yang tidak mampu lagi memberi angin segar. Dalam kondisi lapar (belum berbuka) wajar kalau saya bilang ini fasilitas publik yang nyaris tidak berperikemanusiaan. Alasannya adalah saat ini memang lagi musim pulang kampung, sehingga ada antrian cukup lama dengan kereta api luar kota.

Sebagai masyarakat dengan tingkat permakluman paling tinggi (mungkin tertinggi di dunia) kita terbiasa dengan kata “sabar”, namanya juga orang kecil. Eh, apa iya harus begitu? Saya dan mungkin sebagian besar pelanggan CL memang orang kecil. Bukan mereka yang punya pilihan untuk tinggal di apartemen di pusat kota atau duduk tenang di mobil yang nyaman dengan supir. Tapi saya bayar pajak lho! Saya dan juga yang lain berhak menagih hasil pajak itu ke pemerintah. Salah satu wujudnya dalam fasilitas umum yang memadai. Contoh kecil lain adalah jalan rusak parah di dekat rumah saya yang sudah tidak dibereskan bertahun-tahun. Asal tahu saja untuk mengusulkan perbaikan jalan ini mekanismenya harus melalui Musyarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Ini levelnya dari tingkat kelurahan hingga nasional yang makan waktu hingga satu tahun (menyesuaikan dengan tahun anggaran). Jika tidak ada inisiatif lain dari pemerintahnya, menambal jalan berlubang saja butuh waktu minimal 1 tahun! Gila kan?

Teringat jelas, di setiap akhir Maret para karyawan dengan bangga memamerkan bukti potong pajaknya di sosial media. Betapa kesadaran akan kewajiban ini sudah jadi bagian tak terpisahkan. Itu belum pajak-pajak lain seperti pajak kendaraan, PBB, bahkan pajak makanan kita di restoran. Dari beberapa literatur disimpulkan bahwa penerimaan pajak rata-rata tumbuh 25% per tahun, itu pun sebenernya belum memenuhi target. Memang sih, harus diakui, kesadaran membayar pajak ini belum sepenuhnya masuk ke seluruh lapisan masyarakat. Namun peningkatan permintaan NPWP hingga 30% per tahun paling tidak memberi harapan besar bahwa kita bisa kaya dari pajak.

Balik lagi ke urusan CL yang macet tadi, kok yang saya rasakan kenaikan penerimaan pajak itu belum sebanding dengan fasilitas yang pemerintah sediakan buat masyarakatnya. Oke lah, anggap saja saya salah karena cuma ngasih contoh CL yang ngadat. Bisa didebat bahwa banyak fasilitas umum yang sekarang jadi keren bingits, seperti bandara (bandara lokal daerah keren-keren lho!), jalan tol yang tambah banyak dan akses informatika yang makin baik. Saya belum tahu (tepatnya belum mencari tahu), berapa sih sebenernya perbandingan ukuran penerimaan pajak mempengaruhi besarnya konstanta perbaikan fasilitas publik. Mungkin saja ada!

Tapi, Saya masih kecewa, disaat pemerintah menetapkan deadline waktu setoran pajak bahkan memberikan denda jika terlambat,  pemerintah sendiri hampir tidak punya sanksi apa-apa saat terlambat melayani masyarakatnya.

Duh, akhirnya kita merasakan sendiri betapa korupsi sudah membuat bangsa ini cuma jalan kaki sementara seharusnya bisa berlari kencang. Itu juga sudah syukur gak jalan di tempat!

Di tengah eforia Pilpres yang baru saja berakhir, dan saya harap benar-benar berakhir,  saya menemukan satu dua hal yang menarik. Saya ini orang awam, bukan penganut agama yang super taat dan sama sekali bukan orang partai manapun. Karena itulah, saya bisa dibilang agak tulalit alias gak bisa mikir yang rumit-rumit seperti skenario sinetron. Saya cuma memilih pemimpin yang bisa membenahi omelan saya tentang CL yang menyebalkan tadi. Saya gagal paham dengan berbagai skenario yang ditujukan untuk menyerang salah satu atau salah dua dari capres tersebut. Bagi saya, negara ini perlu orang-orang yang tulus untuk membenahi semua hak masyarakat karena pemerintah itu kerjanya melayani bukan memerintah. Pemerintah yang ber-regenerasi, bukan muka-muka lama yang cuma ganti casing. Segala hal yang berbau SARA jelas hanya berlaku untuk kepentingan golongan, tetapi penumpang CL bisa datang dari berbagai golongan, kan? Apa kita bisa memilih siapa yang akan kita selamatkan duluan jika terjadi kecelakaan CL? Teman segolonganmu di gerbong yang lain atau teman seorang Ibu di sebelahmu?

Jangan menodai semangat Bhinneka Tunggal Ika yang artinya keberagaman menjadi keseragaman. Apapun alasannya SARA dan segala macam polesan intrik di dalamnya hanya upaya pihak ketiga memecah belah bangsa ini. Jangan menggadaikan kecerdasan diri sendiri sampai melupakan logika karena termakan isu-isu yang bisa membuat perang saudara. Tidak kalah penting, jangan sampai pajak-pajak yang sudah kita bayar cuma jadi ongkos kita ribut soal SARA.

Kita banyak belajar dari keberhasilan dan kekurangberhasilan pemerintah sebelumnya. Kita perlu berlari, karena dengan cuma berjalan akan lebih lama sampai di tujuan. Lebih penting lagi, jangan sampai jalan di tempat atau bahkan mundur ke belakang. Salam Persatuan Indonesia!

Hits: 296
Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *