Tadi sore saya disodori pertanyaan, yang hampir serupa dengan judul ini tulisan ini. Jujur, sejak benda yang bernama telepon selular (ponsel) ibarat Tuhan kedua (upsss..) alias menjadi benda yang bisa “segala-galanya” konsumsi melahap buku saya lumayan turun. Dua atau tiga tahun lalu, buku adalah salah satu isi tas yang hukumnya wajib. Saya biasa membaca buku di kereta, di bis, pada saat menunggu antrian atau saat makan sendiri di restoran (yang terakhir ini sih, dilema jomblo :p). Bahkan saya sering menghabiskan satu buku dalam perjalanan dengan KRL Bogor-Jakarta yang hanya berdurasi kurang dari dua jam. Ketika masih bekerja di Aceh, buku adalah teman paling setia selain kopi dan teman-teman ngopi-nya. Maklumlah, daerah ini nyaris minim hingar bingar hiburan. Selama disana, setiap pulang ke Jakarta, buku adalah oleh-oleh paling banyak untuk saya sendiri dan teman-teman di Aceh. Tema buku saya beragam mulai dari buku yang rada berat, psikologi popular sampai novel-novel cemen yang mengaduk-aduk perasaan. Tentu ini di luar keharusan membaca buku-buku kuliah selama jadi mahasiswa, ya..
Kalau ingat masa-masa keemasan itu saya jadi miris. Sekarang mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah; sudah berapa banyak game yang terselesaikan minggu ini?, sudah berapa banyak momen dan foto yang diposting di sosial media minggu ini?. Betul, sekarang jaman canggih dimana buku bisa berbentuk e-book yang bisa dibaca di ponsel, tablet atau sejenisnya. Tapi mungkin karena saya orangnya rada katro, saya lebih memilih membaca buku konvensional -yang menurut saya sensasi-nya lebih luar biasa- dibanding membaca lewat gadget-gagdet canggih itu. Saya ingat, satu atau dua bulan lalu, gadget canggih saya sempat rusak yang akhirnya membuat saya mundur sementara dari dunia per-game-an dan per-sosmed-an. Walhasil, saya pun kembali ke kebiasaan lama, membaca dalam perjalanan. Alih-alih ngomel-ngomel karena ponsel yang tak kunjung pulih, saya malah bersyukur bahwa membaca ternyata lebih nikmat dibanding maen game. Hehehe..
Deuh, kalau pencandu narkoba perlu direhab biar normal, sepertinya saya juga harus direhab. Tantangan lumayan berat, karena tentu saja saya “emoh” mengganti ponsel ke jaman model ponsel seribu umat. Caranya sih susah-susah gampang, diantaranya mulai mengurangi kebiasaan belanja online dengan kembali mengalokasikan biayanya buat beli buku baru dan “memaksa” diri untuk kembali membawa buku di dalam tas seperti dulu. Wismilak!
Konon, penduduk Jepang adalah pengkonsumsi buku tertinggi di dunia yang angkanya mencapai 40 buku pertahun yang rerata-nya sekitar 3-4 buku per bulan. Seandainya 10% saja dari 250 juta penduduk Indonesia menghabiskan minimal 1 buku dalam 1 bulan berarti ada 25 juta buku yang dibaca dalam 1 bulan, pasti akan lebih banyak ilmu dan wawasan baru yang menyebar. Bukan ilmunya saja, kebiasaan baik seperti ini seharusnya juga menular. Kebiasaan membaca juga berbanding lurus dengan kemampuan menulis. Salah satu survei yang pernah saya simak, di Asia saja untuk jumlah tulisan ilmiah seperti jurnal dan hasil-hasil riset, Indonesia hanya berada di atas Vietnam dan satu negara lagi yang saya lupa. Padahal secara intelegensia jelas kita tidak kalah dibanding mereka. Mungkin pokok permasalahannya adalah bangsa kita lebih seneng “banyak ngomong” dibanding banyak nulis. Syukur-syukur kalau obrolannya bermanfaat. Sayangnya sih kebanyakan sih gak begitu..… Hahahaha…