Sekitar dua minggu lalu ada satu kejadian yang mungkin bisa jadi salah satu kejadian paling buruk dalam hidup saya. Baru kali itulah, saya bener-bener diintimidasi dengan perkataan yang sangat sangat merendahkan dan mungkin benar-benar menghina saya sampai titik terendah. Gak perlu diceritain sebab musababnya, namun yang membuat saya bersyukur orang orang terdekat mendukung dan membesarkanku sepenuh hati dengan sangat obyektif memandang semua yang menjadi latar belakang terjadinya hal tersebut. Meskipun kemarahan sudah di ubun atas semua asumsi yang melenceng ke saya, pengen rasanya labrak orangnya, pengen ngamuk, pengen bales ngata-ngatain dengan ucapan-ucapan yang sama sadisnya, pengen maen fisik dan semua-muanya.. Tapi Alhamdulillah, saya kuat untuk nyaris tidak bereaksi apa-apa. Buat apa juga ditanggapin dengan serius, perdebatan tidak akan menyelesaikan apa-apa. Berargumen pun rasanya tidak perlu. Energinya sudah habis, selama ini udah capek dengan semua yang terjadi.
Biarlah apa yang ada di pikirannya tentang aku, seperti apa yang dia pikirkan.
Bukan dia penentu benar salah satu masalah. Meskipun sakit akibat perkataan itu berefek ke fisik saya yang nyaris drop selama tiga hari. Its really mentally abuse. Sakitnya bukan karena “ditinggalin” tapi karena kata-kata yang ternyata memang lebih tajam dari belati. Ah sudahlah, finally timbangan salah bener dan ganjaran yang pantas untuk kita (sebagai manusia) terima itu, udah ada yang ngatur. Seorang sahabat hanya berpesan kecil tapi menohok; “jangan kotori tangan lu dengan balas dendam ya, vik.. “ .. dan saya pun menangis. 🙁
Ini cuma catatan kecil kehidupan. Apapun yang terjadi, baik buruk, up and down, semua ada hikmahnya. Minimal bisa jadi bahan perenungan dan introspeksi untuk menjadi orang yang lebih baik.. Amin..
🙂
[…] adalah cerita sebuah cinta, kasih sayang yang berujung mentally abusing. Duh, kalo teringat itu, mau nulisnya saja rasanya gak sanggup. Tapi tidak apa-apa, setiap manusia pasti pernah punya periode berat dalam hidupnya. […]