Seperti janji matahari di Torosiaje


Jalan Jalan / Wednesday, May 10th, 2017

Seorang putri cantik dari Negeri Johor tiba-tiba hilang saat bermain di tepi pantai. Tak ayal, Sang Raja memerintahkan pasukannya untuk mencari sang putri tercinta. Namun yang menemukan putri itu, justru seorang Pangeran asal Makassar yang akhirnya menikahinya. Mereka lalu hidup dan beranak pinak di tengah lautan dan kemudian dianggap sebagai nenek moyang suku Bajo.

Konon legenda tadi hanya salah satu penggalan cerita asal muasal Suku Bajo. Banyak sekali kisah-kisah lain yang tercetus tentang sejarah suku terapung ini. Ada pula yang menyebut asalnya dari Filipina, karena di perairan negara ini ditemukan beberapa titik pemukiman mereka. Namun di Indonesia, setidaknya mereka ada di Torosiaje (Gorontalo), Jambi, Wakatobi (Sultra) dan Berau (Kaltim). Karena asal muasal mereka yang sedikit simpang siur, wajar saja jika ada yang bilang ini adalah bagian sejarah yang hilang.

Team Kamadigital.com
Team Kamadigital.com

Dilanda rasa penasaran akan cerita Putri Johor itulah perjalanan kami dilakukan. Siang itu perahu bermesin kecil yang mengantarkan kami ke Torosiaje, sudah menunggu cukup lama di satu-satunya darmaga menuju desa ini. Entah ini kali keberapa saya bersampan melewati hutan mangrove yang memenuhi sisi darmaga. Bedanya, kali ini sama sekali bukan menuju daratan, melainkan perkampungan di atas laut. Sesaat lagi semua lelah akan terbayar setelah menempuh penerbangan sekitar 3 jam dari Jakarta dilanjutkan 3 jam perjalanan darat dari Marisa (Ibukota Kabupaten Pohuwato) dan terakhir menyeberang laut sekitar 10 menit. 

blog4

Kapal kecil kami dikemudikan oleh Pak Sunaryo. Ia mengantar kami dengan ramah hingga penginapan yang posisinya tepat di ujung desa.”Namanya kok “Kejawa-jawaan” ya?” pikir saya. Ternyata pemukiman Suku Bajo di Torasiaje ini sering disebut Bajo modern, salah satunya karena sudah banyak orang Bajo yang menikah dengan suku lain kemudian ikut menetap disini. Tidak heran jika 1300 penduduk disini ada yang berasal dari Jawa, Bugis, Makassar bahkan keturunan Tionghoa.

IMG20170505100904

Sepanjang jalan, sekilas seperti kampung biasa dengan aktivitas warga sehari-hari. Bedanya, jelas tidak ada daratan disini. Seluruh kampung dihubungkan dengan jembatan-jembatan kayu yang kokoh yang dinamakan kayu gopasa batu. Di setiap rumah terparkir pula satu dua perahu sebagai kendaaraan pribadi setiap keluarga. Beberapa rumah dicat warna warni menambah obyek foto kami. Laut di bawah rumah-rumah itu tampak begitu jernih. Banyak penduduk yang membuat keramba di depan atau samping rumah. Di satu sudut sekelompok anak muda sedang nongkrong santai tanpa kopi berlogo kepala hijau. Di sudut lain, beberapa ibu-ibu asyik mengobrol sambil membawa balitanya, sementara dua orang ibu lain sibuk menjajakan kue-kue kecil seharga seribu rupiah saja kepada kami. Riak bersahabat terpancar di wajah mereka yang  paham betul bahwa kampung ini sudah menjadi  tujuan wisata utama Pohuwato.

blog5
pic by @suryadi.sulthan
blog6
pic by @suryadi.sulthan

Tiba-tiba seorang anak berseragam sekolah dengan santai melintas dengan perahu kecilnya. Latar belakang langit biru, dengan laut jernih Toroasiaje membuat peristiwa itu menjadi begitu memesona. Kata Pak Jackson Sompat, Kepala Desa yang akrab dipanggil Ayah, satu dekade terakhir pendidikan sudah menjadi prioritas bagi warga Torosiaje. Mereka sudah punya sekolah dari tingkat TK hingga SLTP yang juga terapung. Beberapa fasilitas umum pun mulai dibangun. Bahkan jaringan air bersih sudah mulai masuk sejak beberapa tahun lalu. Satu hal yang mungkin masih perlu pembenahan adalah masalah sampah rumah tangga. Namun walau belum optimal tetap saja kampung ini bersih dan nyaman. Masyarakat Bajo yang hidup turun temurun di laut tahu betul bagaimana menjaga lautnya. Sebagai nelayan, mereka juga memegang teguh prinsip 3P dalam melaut; Pukat, Pancing dan Panah adalah alat alat yang digunakan dalam mencari ikan. Pantang bagi mereka menggunakan alat tangkap yang dapat merusak lingkungan. 

 

pic by @suryadi.sulthan
pic by @suryadi.sulthan

blog3

Sambil menikmati hidangan ikan goreng, ikan bumbu kuning lengkap dengan sambal pedas nikmat ala Gorontalo, kami berbincang dengan Pak Akbar pemilik rumah makan asal Makassar dan Pak Faldi Pakaya, Sekretaris Desa orang asli  Torosiaje. Mereka bertutur, Suku Bajo hidup harmonis di tengah lautan, nilai-nilai Islami mereka jalankan dengan taat. Tidak ada kawula muda yang boleh keluar lebih dari jam 10 malam. Jangan dikira sanksinya ringan, loh. Dua orang remaja lawan jenis yang kedapatan masih berdua di atas jam itu, harus dinikahkan. Nah loh! Belum lagi ada larangan untuk melaut di hari Jumat. Konon, barang siapa yang melanggar bisa tertimpa malapetaka di laut. Mungkin  saja ini secara tidak langsung dimaksudkan agar Bapak-Bapak nelayan dapat khusuk beribadah di hari yang sakral itu. Setiap tahun mereka juga melakukan Masaro, sebuah ritual tolak bala dan bentuk rasa bersyukur atas karunia laut yang menghidupi mereka.

pic by @suryadi.sulthan
pic by @suryadi.sulthan

Ketika sore mulai turun, kami beringsut mencari tempat terbaik untuk menikmati sunset. Seorang Ibu dengan ramah mempersilakan untuk menunggu perginya matahari dari dapur belakang rumahnya. Pandangan mata bebas lepas seperti lautan di depan sana.

Kemudian Senja turun pelan-pelan, air laut tetap tanpa riak. Semburat jingga, biru berpendar dengan perginya cahaya. Mungkin ini adalah salah satu senja terbaik saya. Pagi esok, saya akan bangun menyongsong kembalinya matahari. Karena hanya matahari yang PASTI menepati janji untuk terbit di pagi hari

 

Hits: 967
Share

13 Replies to “Seperti janji matahari di Torosiaje”

  1. Janji matahari mah pasti. Apalagi matahari di torosiaje. Kalo janjinya pasangan nggak pasti. Boro2 nggak pasti. Udah lupa malah akan janji janjinya. Cie gitu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *