“Saya membatasi penggunaan teknologi untuk anak-anak di rumah” ungkap Steve Jobs seperti dikutip oleh New York Times 2010 lalu. Pada masa-masa bermain, Jobs membiarkan anak-anaknya menghabiskan waktu di luar rumah, bercengkerama dengan alam bukan games online yang membuat mereka seperti tidak kenal dunia lain. Jobs ngeri membayangkan hilangnya kehangatan di meja makan, karena anak-anak mulai kecanduan gadget.
Jika Steve Jobs saja masih percaya alam adalah tempat bermain terbaik, kita sendiri kapan terakhir bermain di luar ruang? Mungkin generasi yang lahir setelah tahun 2000 apalagi anak-anak yang tinggal di kota metropolitan, tidak tahu namanya engklek, tidak pernah main kelereng dan tidak tahu apa itu gobag sodor. Kini mana ada lagi anak-anak yang bermain petak umpet di halaman rumah. Mana ada lagi anak-anak berpeluh mengejar layangan putus di sore hari. Sudah sulit mencari anak-anak perempuan bermain tali dan bermain bekel di teras rumah, karena update status dan posting foto di sosial media (yang ternyata tidak sosial) lebih diminati.
Mengurangi kerinduan akan masa-masa itu, Sabtu 8 Oktober 2016 lalu saya dan beberapa teman blogger mendapat kehormatan dari Menpora untuk meliput Tafisa (The Association For International Sport For All) Games 2016. Berbanggalah, pada 2016 Indonesia jadi Tuan Rumah perhelatan akbar olahraga tradisonal yang dihadiri oleh 87 negara ini. Tafisa merupakan satu-satunya pesta olahraga internasional yang berisi berbagai perlombaan dan eksibisi olahraga tradisional dan rekreasi dengan keunikan kultural. Ajang empat tahunan ini menjadi media pertemuan dan penjalinan persahabatan yang erat antar seluruh warga dunia yang mencintai olahraga tradisional.
Satu hari penuh Pak Menteri mengajak kami berkeliling Ancol, melihat dari dekat berbagai perlombaan yang digelar. Bahkan beberapa kali Pak Menteri dengan asyik mengajak kita mengikuti beberapa lomba. Beliau semangat banget mencoba hampir semua permainan. Salut saya dengan staminanya! Gak ada capeknya!! Cuaca mendung dan sedikit gerimis sama sekali bukan halangan. Dari naik perahu naga, mencoba permainan lempar bola ala Perancis, jalan kaki keliling Ecopark, main dengan Enggrang, mencoba lembar batu ala Polan hingga menonton pagelaran tari asal Jambi. Belum lagi melayani ratusan pengunjung yang mau selfie. Aduhhhh…..begitu toh kalo jadi menteri! *Siap siap kali aja besok-besok ditelpon Jokowi lagi. Hahahaha..
Saya baru tahu ternyata permainan engklek juga ada di Spanyol dan Perancis. Itu loh, permainan dimana kita harus meloncati tanah atau batu yang sudah dibentuk persegi atau bulatan. Buat yang gak tau, bisa jadi kalian “terlalu anak kota” sehingga mungkin tidak pernah main di luar rumah. 😀 Engklek Indonesia lebih sederhana, kita tinggal loncat pada batu yang berurutan, bisa dengan satu atau dua kaki. Sementara engklek Spanyol, harus jalan mundur dengan satu kaki pada kotak-kotak yang sudah diberi nomor. Kalo diperhatikan memang lebih mudah engklek Indonesia, seolah jadi cermin bangsa kita memang senang yang “mudah mudah” saja. Hehehehe.
Uniknya, -meskipun seperti turnamen- Tafisa bukan seperti olympiade. Tidak ada juara dan medali. Juaranya adalah kebersamaan, sesuai dengan tagline Tafisa : Unity in Divesity. Puluhan atlet berkumpul dari berbagai negara berbagi kebersamaan dengan keceriaan dan kegembiraan. Di satu sisi, sekelompok bule bertanding menyodok bambu panjang dengan beberapa pria lokal. Persis seperti main tarik tambang, tapi tambangnya diganti bambu serupa yang sering digunakan dalam panjang pinang. Hmm, kebayang gak?!
Sementara itu di pantai karnival, siapa pun boleh mencoba volley pantai asal bisa mengumpulkan pemain sendiri. Boleh juga mencoba perahu naga pun bersama siapa pun yang kita mau. Lintas bahasa, lintas negara. Wah, ternyata, permainan tradisional bisa juga menjadi bahasa yang universal. Kostum unik dan lucu dari para delegasi, membuat kegembiraan terpancar jelas di wajah mereka. Ya, ini memang bukan seperti kompetisi.
Salah satu yang juga menarik adalah sekelompok orang Bandung yang menamakan diri Komunitas Hong. Saya sempat berbincang dengan salah seorang pendiri satu-satunya komunitas yang melestarikan permainan tradisiona ini. Katanya, komunitas ini juga mempelajari banyak permainan tradisional dari negara lain. Tidak main-main loh, mereka melakukan riset yang serius untuk mengetahui makna dan filosofi dibalik sebuah permaianan.
Sayang, gaung acara ini tidak terlalu kinclong. Namun bagi saya, bukan masalah publikasinya, tapi semangat Tafisa-lah yang harus lebih banyak ditularkan. Kita mungkin lupa berapa banyak kultur dengan “local wisdom” diperoleh dari bermain, dan bagaimana semua itu hampir tinggal cerita, saat nyaris semua permainan telah menjelma dalam format digital.
Tafisa 2016 jadi awal kita bernostalgia, mengenang masa-masa dimana kekerabatan ada tanpa sekat dan masa saat kuota internet bukan segala-galanya. Lebih penting lagi sebenarnya ini adalah cara kita menjaga budaya bangsa. Cara kita “menjual” Indonesia yang kaya akan budaya, nilai dan filosofi. Kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya.
Credit Picture to:
www.parah1ta.jalanjalanyuk.com
kalau dulu suka main ngadu keong…
Adis takdos
travel comedy blogger
http://www.whateverbackpacker.com
wahh…itu malah gw gak tau.. hahaha
ayo kak, kita bikin lomba apa lagi buat seru-seruan nihhh…
Tetangga sebelah rumah melebihi Steve jobs. Dia sengaja gak beli tv supaya anaknya gak teracuni acara-acara tv, tapi kalau anaknya minta beli mainan kayak sepeda, & rollerblade gitu pasti dibeliin. Biar banyak main sama anak tetangga lain, katanya. Tapi masa emaknya kok kuat gak nonton sinetron turki ya T.T *ini sharing apa rumpi*