“Gue mau ke Penang, minggu depan”…kataku ke seorang teman.
“Oh ya, siapa yang sakit?” responnya.
Begitulah, bagi sebagian teman-teman terutama yang bermukim di Medan dan Aceh, ke Penang aka. Pineng identik dengan berobat. Tidak heran, selain pelayanan kesehatan disana diakui banyak orang lebih baik (dan lebih murah), secara geografis jarak Medan, Aceh ke Penang memang lebih dekat. Kalau ke Jakarta butuh terbang sekitar 3 jam-an, ke Penang kurang dari 1,5 jam saja. Belum lagi sekarang makin banyak pilihan pesawat langsung kesana. Tapi…sekarang saya bukan mau cerita tentang Rumah Sakit di Penang, loh!
Saya sudah beberapa kali jalan-jalan ke Malaysia, tapi untuk negara bagian Penang, ini adalah kali pertama. Kepergian (ciyee kepergian…macem bahasa puisi) saya minggu lalu, memang dalam rangka sebuah short weekend gateway. Jika biasanya barengan para backpacker atau budget traveler kemarin bersama Ibu Ibu “Sosialita” kantor. Kalau biasanya dengan rombongan ber-carrier segede gaban lengkap dengan peralatan snorkeling, kali ini dengan Ibu-ibu berkoper cantik warna-warni. Jika biasanya dengan teman-teman blogger berkamera besar profesional, kemarin dengan Ibu-ibu ber HP canggih. Dan kalau biasanya dengan teman-teman yang tanpa kostum liburan yang jelas (baca: amburadul) kali ini dengan rombongan Ibu Ibu yang liburan dengan dresscode! Serius!!
Dulu-dulu kalau ke Malaysia, saya jalan sendiri ngalor ngidul dan tidak menggunakan jasa travel. Nah.. kali ini, Ibu Ibu yang baik baik tadi membuat perjalanan lebih ter-organisir dengan semua yang sudah dipesan lebih dulu. Pun karena ini private tour jadi kami ber-8 bisa mengatur sendiri itinerary-nya.
Tapi itulah yang membuat liburan kemarin berbeda!
***
Kesan pertama ketika tiba di George Town, Ibukota Penang adalah: Bersih Banget. Hampir tidak ditemui pedagang kaki lima yang buka lapak sembarangan dan menganggu pemandangan. Lalu lintas yang teratur dan nafas kota wisata yang sangat terasa. Sama seperti Malaka, Penang juga kaya dengan bangunan heritage yang dijaga dengan baik. Bedanya, Malaka itu kental dengan bangunan Portugis sementara Penang sering disebut perpaduan tempat berpadunya tiga budaya sekaligus yaitu Inggris, Tiongkok dan Melayu dengan campuran budaya India yang kuat. Salah satu jalan di pusat kota dijuluki Harmony Street, karena di jalan ini berdiri gereja, kelenteng dan Masjid yang didirikan oleh muslim India. Kata driver kami, Penang bahkan lebih ramai di hari libur karena kunjungan turis, dibandingkan hari kerja.
Kami mampir ke beberapa tempat wisata seperti Museum Pinang Peranakan, Kek Lok Si Temple, Bukit Bendera, Armenian Street hingga Taman Kupu Kupu. Museum Pinang Peranakan akan saya ceritakan dalam tulisan tersendiri.
Tujuan pertama kami dihari kedua adalah Kek Lok Si Temple. Mungkin ini adalah salah satu kuil Budha terbesar di Asia. Bangunannya terletak di perbukitan dan untuk sampai di puncaknya, kita harus menumpang trem kecil. Kuil ini sangat megah, luas dan terkesan mewah. Di salah satu sisi, terdapat jejeran batu berwarna kuning emas, yang nampaknya menjadi perlambang para dewa. Jalan menuju lokasinya memang berkelok kelok, kalo gak kuat bisa membuat mabok. Mirip-mirip deh sama jalanan menuju tulisan Hollywood di LA (Los Angeles bukan Lenteng Agung) Dan…Alhamdulillah, saya sudah beberapa kali gitu ke LA (eh…intermezzo sombong dikit..).
Kami juga melipir ke Bukit Bendera, Penang Hill. Saya pikir, ini cuma perbukitan biasa. Ternyata kontur, lokasi, pemandangan bahkan trem-nya mirip dengan The Peak di Hongkong. Dari ketinggian sekitar 700 dpl, kita bisa melihat pemadangan Pulau Pinang. Keren banget! Sepertinya sih, ini juga salah satu peninggalan Inggris. Tempatnya dikelola sangat baik, bersih, rapih, modern dan meninggalkan kesan yang dalam. Di bukit ini saya belajar (serius amaat sih..), bahwa Malaysia sangat sangat serius mengelelola pariwisata-nya. Padahal dengan lokasi dan kontur serupa, saya yakin di Puncak atau Lembang bisa dibuat obyek yang sama.
Dari semuanya, saya paling terkesan dengan Armenian Street. Namanya memang berbau Rusia, tapi akulturasi tiga budaya tadi sangat kental terasa disini. Bisa dibilang inilah pusat turis di Malaka. Jalan kecil yang panjangnya kurang dari 500 meter ini, menyajikan gedung gedung tua cantik, kelenteng antik dan mural-mural yang jadi ciri khas Penang. Bangunan-bangunanya diperkirakan sudah berdiri sejak abad ke18-19. Sebagian besar memang sudah direnovasi, tapi tidak membuang ciri khas lama-nya. Rumah-rumah toko bertiang kokoh berarsitektur Eropa, dibuat warna warni bervariasi. Ornamen-ornamen tiongkok menghiasi berandanya.
Padahal nih ya,..mural-mural di Armenian Street itu biasa banget, entah kenapa jadi begitu tenar. Mungkin karena banyak foto (editan) yang viral yang kemudian mengundang orang untuk antre foto di satu lokasi.
Kalau saya lebih melihat Armenian Street sebagai bagian dari perkembangan peradaban. Harus diakui, Tiongkok adalah satu satu peradaban tertua di dunia yang membuat banyak keturunannya tersebar hampir di seluruh belahan dunia. Coba deh sebutin, mana sih kota besar di dunia yang tidak memiliki China Town? Penang pun memiliki China Town sendiri, namun Armenian menjadi lebih kaya karena berbagai budaya yang menjadi satu.
Oya, secara gw “enganged” banget sama Aceh, di dekat Armenian Street ada jalan dan Mesjid Aceh. Memang disini banyak warga keturunan Aceh yang bermigrasi. Bahkan ada kampung nelayan yang isinya orang Aceh semua. Wajar karena itu tadi…secara geografis keduanya memang berdekatan.
Soal kuliner, makanan paling tenar sejagad raya Penang namanya nasi kandar. Awalnya saya kira, mungkin makanan ini dulunya dipopulerkan oleh Iskandar (ngarang banget….) hahahaha.. Kemudian tenar dengan nama Nasi Kandar. Ternyata saya salah!! Nasi kandar ibarat sebutan buat nasi padang, terdiri dari bermacam lauk pauk yang rempah dan bumbu Hindi-nya sangat terasa.
Penang adalah penghasil durian terbesar di Malaysia. Gak heran deh bermacam-macam jenis durian dijajakan disini. Selain dibudidayakan, daerah pesisir Pulau Pinang sendiri adalah kebun durian original. Kami yang awalnya cuma pengen nyoba satu biji, keterusan hingga 3 biji. Enak sih.. Isi daging yang tebal, varian yang beragam, dari yang super manis hingga agak pahit semua tersedia. Yummy!
Nah, bagian paling absurd neh, namanya jalan sama rombongan Ibuk-Ibuk, dilala gw lebih banyak jadi tukang foto. Yah, itung-itung cari pahala. Beneran, rombongan jalan-jalan kali ini foto-foto selfie dan wefie-nya bisa masuk MURI. Sampe-sampe foto landscape lokasi amat sangat sedikit, karena ternyata ponsel kamera saya penuh dengan foto wefie. Hahaha..
***
Terakhir, memang harus diakui, pariwisata kita harus harus belajar banyak dari Malaysia. Tahun lalu, pendapatan Malaysia dari Pariwisata mencapai USD 21,8 miliar bahkan melampaui Singapura dan sangat jauh dari Indonesia yang hanya sekitar USD 9.8 miliar. Padahal destinasi wisata kita adalah yang terbanyak di Asia Tenggara. Malaysia mampu mengemas potensinya yang sebenarnya biasa-biasa saja dengan luar biasa.
Tempat yang bersih, teratur, biaya yang murah dan masyarakat yang sudah sadar wisata menjadi kekuatan mereka. Satu lagi, mungkin promosi sih…yang membuat orang berduyun duyun datang kemari. Mau bicara promosi pariwisata digital, silakan buka Kama Digital Nusantara disini!
Ayooo..belajar dari Malaysia!
Jangan sering2 jalan ke LN, kak… eksplore Indonesia lebih banyak… hahahha..
[…] belum banyak, karena kubahnya saja baru dibangun. Konsepnya persis seperti Taman Kupu Kupu di Penang yang pernah saya kunjungi tahun lalu. Hanya ukurannya saja yang lebih kecil. Taman burung bentuknya […]
Pas liat mural di foto ini kok biasa ya hehe. Mungkin bener, yg bertebaran di sosmed itu hasil editan apik..entahlah
banget…editannya canggih, mbak..