Sulit dibayangkan, nyaris enam bulan gak liat pantai dan gak mencium khasnya aroma laut. Tapi itulah kejadiannya, Selain di kerjaan baru ini satu tahun gak punya jatah cuti (SATU TAHUN, saudara-saudara!!–>agak lebay sih..), banyak juga kondisi lain yang membuat niat memantai itu tidak dapat terwujud. Minggu ini, kebeneran banget ada liburan 17an yang membuat weekend menjadi sedikit long. Sekalian merasakan nafas kemerdekaan yang beda suasana, saya memilih berlibur ke Pulau Pahawang di Provinsi Lampung. Sejujurnya sih, Lampung bukan daerah impian saya. Alhamdulillah sejauh ini, menjelajah Pulau Sumatera sudah cukup bagi saya. Namun, nampaknya kawasan ini lumayan kekinian untuk anak-anak muda Ibukota (ciyeee..berasa muda…hihihi). Selain jaraknya yang relatif dekat, biaya yang murah meriah bisa jadi pertimbangan memilih daerah ini.
Kami menumpang bis umum dari Slipi Jaya menuju Merak. Perjalanan yang dimulai jam 11 malam itu berakhir dengan cantik di Bakauheni pada pukul 6 pagi. Lalu, masih dilanjutkan dengan perjalanan darat menuju Pelabuhan Ketapang yang ditempuh kurang lebih tiga jam dari Bakauheni. Semua akomodasi kecuali ongkos bis Jakarta-Merak disediakan oleh operator open trip. Tiba di Ketapang, kami sempat beristirahat sebentar sebelum menuju Pahawang. Sempet kecewa dengan operator Open Trip kali ini, ada beberapa hal yang nampaknya kurang terkoordinir diantara mereka. Tapiiiii… Selepas kapal kayu kami meninggalkan darmaga dan aroma khas laut diiringi anginnya menerpa wajah, kekecewaan itu semua hilang…. Di depan terpampang laut berwarna biru-hijau tosca yang membuat nafsu ingin nyebur muncul. Dari Darmaga Ketapang ke spot-spot snorkling ditempuh kurang lebih 30 menit saja. Saya nekad nyebur, tanpa pake pelampung. Untung airnya tidak begitu dalam meski saat itu ombak lumayan tinggi. Karena sudah lama gak berenang (apalagi snorkeling), otot rasanya kaku semua. Namun keindahan ekosistem bawah laut Pahawang membuat kira bisa berlama-lama betah di air.
Hari pertama, kami menikmati beberapa spot, saya lupa nama-nama spot-nya. Secara umum karakteristik pantai di wilayah ini tidak jauh berbeda dengan perairan Kepulauan Seribu. Kontur pantai di Pulau Pahawang pun agak mirip dengan Pulau Derawan walau ombaknya tidak sebesar Derawan. Cuma bedanya, disini air nya benar-benar tawar, bukan setengah payau seperti di Derawan. Kami menginap di rumah penduduk yang sudah disulap menjadi “home stay”. Belum ada penginapan disini, jadi wisatawan yang umumnya rombongan tidur-nya pun berombongan. Artinya dalam satu rumah, disediakan banyak kasur yang sudah ditata rapih. Silakan pilih yang paling nyaman. Soal kamar mandi, jangan khawatir menurut saya sih cukup bersih kok… Jangan terlalu berharap ada kamar hotel atau villa yang istimewa ala liburan berkoper disini. Pahawang dan sekitarnya sejauh ini memang masih ditujukan untuk mereka yang mau “bersusah-susah” ala backpacker. Sangat dianjurkan kesini cukup dengan ransel dan bawaan yang praktis. Karena selain jalannya nyambung-nyambung, kalo repot dengan bagasi yang banyak dijamin akan sulit menikmati alamnya.
Hari kedua, acara tetap dilanjukan dengan snorkeling salah satunya di Tanjung Putus dan Taman Laut. Yah, tipikal sama-lah dengan hari pertama, enaknya disini lautnya relatif dangkal, airnya jernih hingga biota-biota laut nampak dengan jelas dari atas kapal. Meskipun jauh dari daratan, mereka yang datang kesini tampaknya tidak lupa kalau hari ini adalah 17-an. So, banyak diantaranya yang berenang dengan membawa bendera bahkan di dalam laut pun terpancang bendera merah putih. Ah, seneng…anak-anak mudah kita ternyata masih punya nasionalisme yang tinggi meskipun tiap hari dicekokin sama film Korea dan nyanyinya pun lagu Justin Bieber. Hehehe..
Saya bertemu dengan teman-teman baru sesama peserta open trip yang menyenangkan. Inilah asyiknya ikut open trip. Kalo mepet pengen jalan sendirian pun, dijamin gak akan sendiri. Saya sempet takjub juga ada satu keluarga lengkap dengan kedua orang tua dan tiga anak dewasa. Bapak Ibunya bahkan sudah cukup berumur. Saya awalnya agak khawatir, karena menurut saya sih plesiran gaya backpacker begini “cuma buat anak-anak muda” Eh, siapa sangka yang berumur pun “berhak” untuk jalan-jalan. Meski Bapak, Ibu tadi gak nyebur, tapi saya yakin mereka turut merasakan indahnya alam Pahawang. Memang sudah seharusnya wisata laut adalah wisata massal.
Sayangnya, di Pulau ini saya belum merasakan adanya sentuhan pihak ketiga. Entah itu pemerintah atau mereka yang bergerak di bidang lingkungan. Di Pulau Seribu, kita bisa melihat penangkaran penyu, ikan langka dan pembibitan bakau, di Derawan ada lembaga internasional yang menjadga kelestarian penyu-penyu tua yang langka. Sementara Pahawang masih benar-benar perawan dan membutuhkan sentuhan agar lebih baik. Kemana mereka? Entahlah, semoga saya saja yang belum terinfo..
Namun begitu, keliatan kalau penduduk disini mulai serius “membangun bisnis pariwisata” disini. Roh pariwisata sudah menjadi mata pencaharian penduduk pulau kecil ini. Di pinggir pantai banyak berdiri warung-warung kopi sebagai teman nongkrong di malam hari yang kata saya sih enak banget. Suasana starbuck lewat deh… Oh ya, di pulau ini nyaris tidak sinyal ponsel, lo.. Kalo sekedar sms aja bisa sih, melipir ke bibir pantai. Selebihnya, lupakan HP sementara waktu, bercengkrama di pinggi pantai sambil mendengar suara ombak jadi pilihan yang lebih menarik. Di pagi hari, saya sempatkan menulis tulisan ini ditemani secangkir kopi dan indomie rebus plus telor dengan cabe rawit yang banyak. Yummy!!
pulaunya keren! Kalau masalah lingkungan sih memang pe er banget buat pariwisata indonesia 🙂
Ember…hampir semua urusan pariwisata di kita masih PR bangettt..
wah andai aku nggak ada kerjaan di Padang, tanggal ini aku bakalan ketemu kakak di Pahawang, tapi syukurlah kemarin udah bisa rame rame kumpul ya hehe…
Terima kasih sudah menyempatkan waktunya untuk berkunjung ke Lampung,,,, walaupun bukan termasuk impian mbak octa