Diantara kita, pasti pernah ada yang menerima undangan Rapat RT, Rapat RW atau bahkan cuma sekedar kerja bakti di lingkungan. Dan lebih pasti lagi, banyak dari kita yang enggan untuk hadir. Entah karena capek, atau karena kita merasa hal-hal begini hukumnya ibarat “fardhu kifayah”, yang artinya jika orang lain sudah ada yang melakukan maka kita tidak wajib turut mengerjakan. Banyak diantara kita yang merasa cukup membayar iuran lingkungan tanpa perlu meluangkan waktu bergabung di urusan RT, RW apalagi sampai di tingkat kelurahan dan kecamatan. Pilihan ini sebenarnya diambil bukan karena tidak peduli, tapi memang kondisi pekerjaan rutin serta terbatasnya waktu dengan keluarga menjadi penyebab utama. Sepertinya memang sudah sedikit menyimpang dari semangat gotong royong yang jadi “makanan” sejak SD.
Keterlibatan masyarakat, community participation, community engangement menjadi padanan kata yang sangat nge-trend akhir-akhir ini. Sebulan belakangan, inilah bagian dari pekerjaan saya dan teman-teman kantor. Kami berkeliling di sekitar 30 kota di Indonesia, untuk mensosialisasikan perlunya melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan. Deuh, bahasanya pemerintahan banget, yak! Pemerintah Daerah wajib menghadirkan berbagai elemen masyarakat dalam kegiatan ini.
Saya bukan mau bercerita soal rangkaian kegiatan (yang membosankan) ini, namun tergelitik juga ketika seorang peserta di salah satu kabupaten di Jawa Barat yang sempat merasa pesimis apakah masyarakat masih mau berperan aktif dalam pembangunan. Itu baru contoh dari daerah kecil, kata Bapak tersebut, bagaimana dengan kota besar? Yes, mungkin itu benar dalam konteks rapat-rapat RT dan RW yang saya contohkan sebelumnya. Jangankan untuk nimbrung dalam rapat RT, tidak kenal dengan tetangga pun sudah jadi hal lumrah di kota besar.
Bulan ini di Bali, juga digagas sebuah acara bertajuk Open Government Partnersip (OGP). OGP adalah suatu kemitraan yang dibentuk pada September 2011 yang kini beranggotakan 63 negara, bertujuan untuk mendukung kemajuan keterbukaan pemerintah, tranparansi dan keterlibatan publik. Lalu buat siapa dong konferensi, sosialisasi dan sejenisnya dilakukan jika masyarakat makin lama makin “egois’ dengan kepentingan pribadi ?
Setelah “metode lama” dinilai tidak lagi dilirik oleh masyarakat. Kini kita mulai memasuki masa e-government. Semua yang dulu dibicarakan langsung melalui forum tatap muka, kini mulai dipindahkan melalui media online. Pemerintah beramai-ramai membuka diri dengan mempublikasikan sebagian isi perutnya ke depan umum. Apalagi ada UU No 14/2008 tentang keterbukaan informasi publik yang mewajibkan pemerintah meng-online-kan data-data penting seperti besaran APBD, realiasasi anggaran dan masalah perijinan online. Bahkan, Pontianak, Ambon, Surabaya dan beberapa daerah lain sudah menyediakan forum diskusi online yang interaktif pada situs mereka.
Metode ini sepertinya memang dikhususkan bagi mereka yang masih peduli dengan kota-nya, namun punya keterbatasan waktu untuk mengikuti musyawarah di lingkungan masing-masing. Surabaya menerima setidaknya 10 ribu usulan melalui forum online ini setiap tahunnnya. Sementara walikota Pontianak mengelola dan menjawab sendiri puluhan sms warganya setiap hari. Ia juga mengelola satu rubrik tanya jawab di Koran lokal, yang ia jawab sendiri tanpa menugaskan lapisan di bawahnya. Sekarang pun sudah sangat jamak pimpinan daerah menggunakan berbagai media sosial untuk mengetahui keinginan masyarakatnya.
Struktur organisasi pemerintahan yang berlapis-lapis, mungkin merupakan warisan kolonial yang sudah kita gunakan sejak 150 tahun yang lalu. Pimpinan ibarat puncak gunung yang sulit dijamah, karena untuk menyampaikan pesan harus melalui banyak lapisan di bawahnya. Akibatnya aspirasi masyarakat yang sampai ke pucuk pimpinan bisa berubah atau bahkan tidak sampai. Ketika metode tatap muka yang konvensional makin tidak “diminati” masyarakat, kreativitas untuk menciptakan metode baru -salah satunya dengan memanfaatkan teknologi- menjadi sebuah tuntutan. Namun pemanfaatan teknologi canggih pun menurut saya tidak bisa menjamin masyarakat berperan aktif, belum ada penelitian sahih yang menunjukkan bahwa teknologi lebih efektif daripada tatap muka. Apalagi buat Indonesia, yang masih bergerak menuju online sistem yang terintegrasi dan masyarakatnya masih banyak yang belum melek TI. Saya pikir karena itulah, Jokowi masih blusukan atau Bupati Bojonegoro masih menyelenggarakan Dialog Jumatan dengan warga. Teknologi hanya pelengkap yang memudahkan dan membuat semuanya lebih akuntabel.
Saya ingin mengerucutkan bahwa partisipasi bukan terbatas duduk manis mendengarkan pengarahan para pejabat, rutin memberikan usulan secara online kepada pemerintah atau ikut kerja bakti di lingkungan. Partisipasi justru melakukan pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya. Seperti membayar pajak tepat waktu, mentaati peraturan lalu lintas, tidak latah ikutan nyogok aparat pemerintah dalam pengurusan dokumen atau hal-hal sepele seperti tidak membuang sampah sembarangan atau lebih memilih naik kendaraan umum daripada kendaraan pribadi.
Di blog ini, saya sering menulis cerita perjalanan saya di beberapa daerah di Indonesia, bagi saya itu partisipasi kecil untuk promosi pariwisata domestik. Buat yang kelebihan rejeki atau butuh tambahan rejeki, metode sedekah bisa dipilih. Saya percaya, kalau kaum berpunya negeri ini lebih rajin bersedekah, pemerintah tidak perlu heboh menganggarkan bantuan sosial, bantuan subsidi BBM dan sejenisnya, yang justru lebih sering menimbulkan polemik. Satu lagi, karena kita masih dalam aura Pemilu dan Pilcapres, tidak golput juga adalah bentuk partisipasi.
Saya lebih senang menggunakan media sosial untuk mengeluarkan uneg-uneg ketidakwajaran yang terjadi di depan mata. Misal, saya beberapa kali mengirimkan twit ke Walikota Bogor karena pedestrian menuju stasiun yang berbau pesing, mengusulkan agar ijin pembangunan bangunan tinggi di Bogor bisa dikaji ulang. Pernah iseng juga meminta agar Pak Arya Bima, walikota Bogor yang baru bisa berguru cara membuat taman kota kepada Bu Risma, walikota Surabaya. Semuanya, karena saya sadar saya belum bisa aktif di rapat RT tentang perbaikan jalan atau bahkan ikut Musrenbang di kelurahan dan kecamatan.
Saya mungkin baru bisa urunan dalam bentuk uang, belum waktu, pikiran dan tenaga. Tidak dipungkiri, kadang masih ada sisi apatis terhadap pengelola negara ini, namun untuk masuk lebih jauh dan memperbaiki, mungkin bukan waktu dan bagian saya. Tapi saya percaya banyak hal-hal kecil yang bisa kita lakukan untuk berpartisipasi dalam pembangunan.