Hah ? Lu sensitif? Sensitif darimana? dari Hongkong?. Itulah jawaban seorang teman ketika aku iseng menanyakan; “menurut lo, gue sensitif gak sih?”  Lanjutannya: Gimana bisa dikategorikan sensitif kalo temen-temen lu bisa ngomongin apa pun tentang lu tanpa tedeng aling-aling bahkan kadang kadang cenderung tidak berperasaan.  Tapi jeleknya, nih.. kata dia melanjutkan. Lu tuh kadang terlalu cuek, Vik.. Lu sering kurang peka sama apa yang orang-orang sekitar lu lakukan buat elu.  Bukan dalam arti, lu gak nyadar yah, tapi kalo ada sesuatu yang sebenernya “beda”,  lu sering meng-ignore alias suka ngeyel. Anehnya, sebenernya lu temen yang care kok! (Loh!!!) Ngebingungin gak? (thanks, lyn!!)

 Itu survey kecil-kecilan dengan seorang sahabat yang aku lakukan untuk membuktikan apakah aku sensitif atau tidak minggu pagi kemarin. Ada benernya, tapi banyak  juga kurang benernya.  Benernya emang aku gak terlalu sensitif untuk hal-hal kritik, hal hal yang membahas semua kelemahanku, kejelekanku dan hal-hal buruk lain dalam diriku. Sangat terbuka akan protes meskipun  kadang diutarakan dengan cara yang “menyakitkan”. Aku berusaha untuk tidak terlalu jauh melibatkan perasaaan dalam hal-hal begini. Kalau bisa malah mengambil sesuatu yang positif dari itu.   Kalau pun dari kasus-kasus begitu ada yang “nyelip” sebentar di hati lalu bikin aku berubah (karena sensitif), Insya Allah tidak akan bertahan lama. Tapi tetap dengan catatan tidak untuk selalu diungkit-ungkit dalam setiap kesempatan (pls deh, gw kan belum pikun!). Kurang benernya, bukan aku kurang peka, tapi suka sengaja “pura pura” kurang peka, karena itu tadi; suka sengaja telat pake perasaan kalo ada sesuatu yang “beda”. Satu lagi, aku ingin jadi orang yang selalu menghargai sekecil apapun yang orang berikan kepadaku apalagi kalau itu merupakan bentuk penghargaan dan kasih sayang. Justru hal-hal kecil itulah yang buatku merupakan bentuk perhatian yang besar. Hmmm.. agak paradoks memang. 

Namun, jika kembali lagi ke definisi sensitif, sensitif terhadap apa?  Terus terang aku bukan type yang bisa menangis gara-gara ada adegan film, sinetron yang mengharukan atau sedih karena bacaan yang yang menghanyutkan.  Lalu tanpa sadar air mata menitik bahkan hingga menangis tersedu-sedu karena pendalaman cerita yang mengalahkan pemeran film-nya sendiri.  Aku bahkan jarang (bukan tidak pernah)  menangisi hal-hal buruk dan menyedihkan yang aku alami. Ini akibat aku yang kerap mengukuhkan diriku bak “wonder woman” dengan semboyan harus selalu taft, tangguh dan kuat menghadapi apapun yang terjadi. Padahal kalau mo nangis ya, nangis aja ya. Itu kan manusiawi.  Malah mungkin dengan menangis ada sebagian beban yang hilang.   

Jadinya ? Capek!!  Tapi justru karena “capek “ itu aku jadi sensitif. Jadi inget kodrat kalau aku boleh kok mengeluh, boleh kok kesal, boleh kok menyesal.  Toh akhirnya, sikapku yang terkadang sok  kuat dalam segala hal itulah yang bikin nangis bukan konteks masalahnya. Hikss….Hikss… 

Menurutku sendiri aku sangat sensitif sama hal-hal kecil yang dilakukan oleh “orang kecil” untuk terus bertahan hidup. Aku sangat gampang terharu dengan tukang becak tua di Stasiun Bogor yang berjam-jam menunggu penumpang di tengah gerimis, pedagang asongan tua cacat di terminal Baranangsiang, tukang buah buta yang selalu melintas di depan di Bogor setiap sore (dan selalu  di kala hujan) atau Ibu ibu pedagang keliling yang menjajakan kue-kue kampung dingin. Aku selalu sensitif sama orang-orang yang bekerja keras karena kehidupan yang makin berat. Untuk hal-hal seperti itu, bisa berhari-hari aku pikirkan, berusaha ber-empati dengan apa yang mereka alami. Menyempatkan berdoa semoga Tuhan yang Maha Adil memberikan rejeki yang layak atas perjuangan mereka.  Sementara lagi-lagi, aku harus dan harus bersyukur untuk semua “kemewahan” yang selalu aku miliki.  

Di sisi lain, sebagai perempuan normal dengan saraf-saraf sensitif lebih banyak dari laki laki, aku bisa sensitif untuk hal hal yang menurutku sendiri “cemen” banget. Apalagi ada siklus-siklus hormonal yang  seolah “mewajibkan” ber-sensitif-ria tanpa sebab. Misal hanya gara-gara ditegur dikit sama bos soal sepele udah bête, temen becandain dikit udah kesel, ada urusan yang gak beres dikit udah mau nangis aja. Belum lagi ditambah mellow mellow gak jelas yang suka datang sendiri hingga kadang-kadang sampai bisa merasa sebagai orang paling tidak beruntung di dunia.  Tapi kalo yang model begini hampir semua perempuan juga ngalamin. 

Hmmm, ya gitu deh…So feel free drop your comment, sensitif gak sih gw ?