Masih ada ya, produser dan sutradara yang mau memproduksi film seperti LIMA, begitu pikir saya setelah selesai menonton filmnya. Buat saya yang tidak terlalu paham masalah sinematografi, gambar-gambar film ini sungguh bercerita walau tanpa banyak dialog dan ekspresi aneh-aneh layaknya sinetron. Meskipun temanya idealis, film ini ditata apik yang tetap membuat kita betah menonton hingga selesai tanpa bosan. Karena ke-idealis-annya itu, film ini bisa jadi bukan film yang laku di pasaran. Saya yakin produser dan sutradaranya pastilah mereka yang tidak saja cinta profesinya namun juga cinta dan peduli bangsa ini.
Minggu lalu, saya diajak PPM Manajemen menonton film tersebut. Jarang sekali ada perusahaan bahkan swasta yang begitu konsen dengan perayaan Hari Lahir Pancasila dan memeriahkannya dengan cara menonton bersama film yang terkait dengan Pancasila. Memang, upacara bendera wajib dilakukan di tanggal itu, tapi setelah itu, ya sudah, selesai. Semua memang cuma sebagai ritual belaka. Dulu memang, film G3O SPKI mungkin sempat jadi tontonan wajib anak sekolah, tapi sejatinya memaknai Hari Lahir Pancasila justru tidak kalah penting. Apalagi beberapa tahun terakhir, keberagaman seolah menjadi ancaman bagi negara, dan kita mungkin lupa bahwa ada Pancasila yang seharusnya mengingatkan negara ini memang dibangun karena keberagaman bukan oleh keseragaman.
Bagi PPM sendiri, menjaga keutuhan bangsa adalah panggilan. Mungkin itu yang kadang tidak kita sadari juga menjadi tugas kita. Sejak awal berdirinya, PPM Manajemen terus berupaya memastikan menjaga dan mempromosikan kebersamaan nasional dan kebhinekaan dalam pembangunan bangsa. Meski terlihat tujuannya serius dan “berat”, ternyata caranya bisa kok dalam bentuk yang fun tapi “mengena”. Seperti kata Pak Bramantyo Djohanputro, Direktur Eksekutif PPM yang menemani kami; beliau ingin insan PPM tidak hanya hapal sila per sila, tetapi juga mengerti cara penerapannya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam film ini, dikisahkan ada satu keluarga yang sangat majemuk. Berbeda keyakinan, berbeda konflik yang jika ditarik benang merah-nya, mewakili masing-masing sila pada Pancasila. Uniknya, semua masalahnya sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari dan realita yang akhir-akhir ini terjadi. Ibunda mereka beragama muslim yang taat, sementara tiga anaknya ada yang memeluk Islam mengikuti dirinya, ada juga yang mengikuti keyakinan Almarhum Ayah mereka. Konflik sehari-hari terbangun berkaitan dengan pekerjan dan pergaulan sehari-hari.
Fara, anak pertama yang seorang pelatih renang mengalami dilema untuk memilih anak latihnya berlaga di Asian Games. Di satu sisi yang berprestasi justru Kevin, perenang yang keturunan Tionghoa, sementara ada calon lain, asli Indonesia yang “dititipkan” oleh atasannya. Aryo, anak kedua mengalami masalah perbedaan pendapat dengan teman sekerjanya, yang membuatnya didepak tanpa musyarawah terlebih dahulu. Sementara Adi, si bungsu terbiasa hidup dalam bully-an yang membuatnya membatasi pergaulan. Ada tokoh-tokoh lain yang membuat film ini jadi lebih hidup. Meskipun memiliki problema masing-masing, namun film ini tetap terasa berada dalam satu kesatuan tidak menjadi sekuel. Sila tonton trailer-nya berikut ini.
Kita sebenarnya masih kurang media untuk merekatkan bangsa. Kita perlu media-media kreatif yang tidak hanya memberikan hiburan, tapi juga edukasi. Seperti film Lima ini. Sudah sepatutnya kita dukung, caranya sederhana, nonton dan ceritakan ke teman-teman. Yuk…
Pacific Ocean, 10 Juni 2018