Ini sedikit cerita tentang masalah tim kerja. Mulai punya “anak buah” -saya lebih suka menyebutnya “tim saya”- sejak aku kerja di Palyja, sebuah perusahaan provider jasa air minum di Jakarta. Itu terjadi sekitar awal 2006. Kalo gak salah waktu itu title pekerjaannya’ “Analytical Services Coordinator”. Kerjanya apalagi kalo gak jauh-jauh dari riset dan analisis yang memang menjadi bidangku. Bagiku ini yang pertama me-maintain people dalam pengalaman kerjaku. Waktu pertama masuk saya tidak diberi tahu bahwa akan membawahi sembilan orang staf yang semuanya laki-laki dan hampir semuanya berumur diatas 40 tahun, yang berarti akulah yang paling muda. Pada pekerjaan sebelumnya di SWA, yang namanya teori leadership itu udah sering banget dibahas, tapi baru pas masuk Palyja aku niat dengan serius belajar leadership sampe beli beberapa buku tentang itu. Kacau-nya (baca: tantanganya), bapak bapak itu sebagian besar adalah karyawan yang bermasalah dengan motivasi kerja karena sebuah perubahan dan restrukturisasi lumayan besar yang terjadi di perusahaan itu. Dengan segala dinamikanya saya berusaha masuk menyelami masing-masing mereka dan menempatkan diri di posisi mereka. Intinya saya benar-benar melakukan pendekatan secara personal, karena sangat sulit menjadi “diktator” saat dimana bos besar pun tidak berdaya, apalagi gue yang istilahnya cuman “bos kecil”. Teori motivasi yang diberikan melalui briefing, seminar dan sejenisnya nyaris tidak mempan ke mereka. Dengan kondisi begini, saya tidak berharap punya achievement yang luar biasa dari tim ini, bisa “menggerakkan” mereka saja kata bosku saat itu sudah merupakan prestasi yang bisa dibanggakan. Akhirnya dirancanglah berbagai riset dan survey yang bersifat missal dan bisa membuat mereka tuh keliatan “ada” kerjaan, tentu saja kegiatan itu juga dibutuhkan perusahaan. Huhh..jangan salah lo.. aku juga ikutan tuh ke rumah rumah pelanggan, jalan kaki panas-panasan dan ikut ngecek meteran air di tiap rumah. Setelah 1,5 tahun, mid of 2007 karena mendapatkan tawaran lebih menggiurkan di Aceh, finally…aku tinggalkan deh Palyja. Oya, waktu pamitan sempet sedih lohh.. pake nangis segala.. Hikss.. Jadi kangen juga sama Pak Djoko, Pak Sapto, Pak Maradat, Pak Iqbal, … 🙂
Tim kedua, adalah …hmmm..this is my best team ever!! Di BRR Aceh, dengan jabatan yang agak keren, Asisten Manajer Data Analyst, aku memegang tiga orang mahluk ganteng. Anak muda yang sangat energik dan eksis di bidangnya. Nyaris tidak ada masalah dengan motivasi seperti di kantor sebelumnya. * Iyalah…secara gaji juga udah gede…* Aku pun dengan mereka bergaul selayaknya teman sepermainan. Semua saling melengkapi. Tersebutlah tiga nama, Roli, Emi dan Nardi. Roli punya latar belakang pendidikan yang bagus, analisisnya secara teori dan akademis juga keren, jeleknya sih apa-apa pengen cepet selesai dan kurang teliti. Ini penyakit yang wajar terjadi sama anak-anak karbitan seperti dia. Sementara itu, ada Emi, yang punya kemampuan komunikasi yang baik (baca: demen ngomong) sangat baik dalam pemahaman angka dan punya cara kerja yang terstruktur. Jeleknya nih anak agak gengsian, jadi kalo kerjaan yang cemen dikit cenderung dipilih-pilih. Yang ketiga, Nardi,..meski belum menyelesaikan S1-nya, kelebihan utama dari Nardi adalah dia teliti dan punya curiosity yang tinggi, jadi keinginannya untuk belajar juga tinggi. Ya, kelemahannya sih karena jam terbangnya belum setinggi yang lain masih belum bisa menganalisis lebih dalam. Terlepas dari semua tiga rekan kerja ini adalah teman-teman yang saling melengkapi dan dapat diandalkan. Pada posisi ini hikmah paling penting dari leadership yang aku pelajari adalah; right man on the right place, sebagai superior aku jadi belajar bagaimana mendistribusikan pekerjaan ke siapa untuk menghasilkan output yang optimal.
Jreng…Jreng… the last case is, my current company. Hemmm kalo soal pekerjaan dibanding yang sebelum-belumnya bisa jadi ini bisa dibilang “paling mudah”, tapi ternyata yang paling mudah gak berarti paling mudah juga untuk mengkoordinir semua orang. Karena culture perusahaan yang belum terbangun sempurna masih banyak hal-hal ambigu yang aku temui disini. Sebagai contoh, skill dan background tim yang minim membuat sangat sulit bergerak, akhirnya lebih banyak urusan capacity building daripada mikirin output. Rentetan dari atas, goal tiap pekerjaan juga masih banyak yang rancu, boro-boro deh mikirin yang namanya strategic intention. Duh sebenernya gak pantes deh ngomongin kantor sendiri di blog umum begini.. So far sih… namanya juga pekerjaan aku sangat berusaha mencintai pekerjaan itu, dan untuk pekerjaan yang terakhir ini…mungkin ini adalah salah satu tantangannya. *smile*