Bulok


Opini / Sunday, January 20th, 2008

Pernah denger istilah diatas ? Nah istilah bulok yang ini gak pake “g” tapi pake “k” yang merupakan akronim dari “Bujang Lokal”. Bisa jadi istilah ini cuma happening di Banda Aceh khususnya di suatu badan pasca tsunami (bukan iklan, jadi nama harus disamarkan). Inilah sebutan untuk para lelaki yang berstatus menikah tapi jauh dari istri & keluarganya. Belum ada data terpublikasi berapa sesungguhnya populasi bulok-bulok itu. Ehmm,…tapi tunggu di ruanganku ada satu, si big boss yang biasa dipanggil Kepala Sekolah, lalu di ruangan tetangga kayaknya lebih banyak mungkin ada 2-3 orang belum ditambah yg commuter alias sering bolak-balik Jakarta-Aceh. Lalu, ruangan sebelahnya lagi,,ada 1, sebelahnya lagi…minimal 2 juga. Jika rata-rata satu ruangan ada 2 orang,sementara di kantor pusat taruh kata ada 30 ruangan berarti minimal ada 60 orang bulok. Jumlah itu belum ditambah bulok-bulok regional alias yg ditugaskan ke pelosok daerah. Bayangkan jika itu hanya dari satu lembaga, sementara data mencatat tidak kurang dari 478 NGO dalam dan luar masih atau sempat eksis di NAD-NIAS pasca tsunami 26 Desember 2004 lalu. Dimana bisa jadi komposisi antara pendatang pekerja dan pekerja asli putra daerah seimbang. Tanpa disadari NAD telah menjelma menjadi sarang bulok! Menyeramkan….

Seorang teman yang kebetulan single, ketika pertama kali tiba di Aceh, mendapat pesan penting; Beware of Bulok! Kalau kata Bang Napi; Waspadalah! Mengingat tingginya populasinya di daerah ini. Mengapa harus waspada? Apakah kelompok ini menjadi komunitas baru yang mengancam dan menjadikan daerah ini daerah konflik dengan siaga satu seperti dulu ? Berlebihan. Meski begitu, bisa jadi ada benarnya, hanya bedanya menimbulkan konflik di rumah tangga bukan di Negara, namun gawatnya jumlah rumah tangganya sangat mungkin berbanding lurus dengan jumlah para bulok tersebut.

Dari hasil pergaulan yang cukup intim dengan beberapa kolega di Aceh, terkuaklah beberapa kasus akibat wabah bulok ini. Apalagi kalau bukan satu kata popular; “perselingkuhan”. Mulai dari hanya sekedar teman ngobrol berlanjut ke curhat pekerjaan hingga menuju curhat-curhat pribadi yang pada akhirnya mengikutsertakan satu karunia Tuhan paling indah; perasaan (baca: cinta). Memang dari sekian banyak kasus, sebagian besar berasal dari hembusan rumor yang sangat sulit dibuktikan. Tetapi seiring berjalannya waktu, ada yang memang harus berakhir karena penyadaran kalau hubungan seperti ini tidak layak untuk diteruskan, tetapi ada juga yang terbukti berlanjut ke tahap serius (pernikahan) entah itu yang open exposed atau ditutupi dari pihak pertama (keluarga) dan khalayak ramai maupun seperti yang sering dilakukan oleh artis-artis ibukota. Akhirnya tanpa disadari semua memandang hal ini sebagai “Tahu Sama Tahu” (TST) dan membuatnya menjadi seolah-olah biasa alias lumrah.

Masalahnya kata bernama perselingkuhan seolah sudah menjadi konotasi negative sebagian besar masyarakat. Sebagai individu yang belum berpengalaman dalam urusan rumah tangga, masih sulit buatku sendiri untuk mendefinisikan apakah jarak mampu menjadikan selingkuh menjadi “boleh” (tetapi tetap jika tidak diketahui) terlepas dari segala kronik dan riak dalam bahtera rumah tangga. Bisa dipastikan pertanyaan itu akan dijawab dengan tidak yang tegas oleh 99% istri yang ditinggalkan. Tetapi tunggu, satu artikel hasil survey pernah menyebutkan, dua dari lima laki-laki di Jakarta mengaku pernah berselingkuh, terlepas dari sejauh mana perselingkuhan itu, yang jelas setidaknya telah terjadi pembohongan (ukuran lebih kecil dari pengkhianatan) terhadap pasangan yang sah. Itu di Jakarta, dimana para lelakinya bukan masuk kategori bulok yang sedang kita bicarakan. Bagaimana bila yang jauh? Bukan hanya bulok Aceh, bulok Banjar, Papua bahkan luar negeri sungguh masih merajalela.

Ini tentu saja bukan satu virus yang membahayakan. Karena akhirnya, ini hanya menjadi petunjuk realita hidup pembuktian kodrat manusia yang selalu membutuhkan tempat berbagi perasaan, diperhatikan, dimengerti, dan tempat meluapkan segala emosi yang tidak bisa menunggu kepulangan ke Jakarta seminggu, dua minggu bahkan sebulan atau bahkan dua bulan sekali. Semua itu tidak akan terganti oleh teknologi secanggih apapun, 3G, 3,5G bahkan 4G (jika sudah ada) sekalipun. Tatapan, sentuhan dan belaian adalah anugerah Tuhan yang maha besar yang lebih ampuh dari ribuan ramuan obat manapun.

Bukan bermaksud melegalisasikan perselingkuhan, tetapi hanya mencoba bersikap sedikit (catat: sedikit) lebih bijak terhadap “proses” ini. Cinta selalu datang direncanakan, cinta tidak memilih, tanpa melihat tempat dan yang pasti; cinta tidak pernah salah. Toh, pada akhirnya kontrol diri dan tentu saja takut akan dosa harus menjadi tiang-tiang penyangga agar tidak jatuh terjerumus lebih jauh. Tidak lupa mengamalkan slogan “my family is everything.. So, happy bulok!

Hits: 1371
Share

13 Replies to “Bulok”

  1. setidak2nya dengan berkeliaran nya bulok2 dengan level kedurjanaan yang berbeda2 di sekitar kita, bisa menjadi ilmu tambahan buat mengidentifikasi mereka dan menjadi bekal buat mendidik anak2 kita … 😀

  2. aaah nyak… so sweet skaleee…
    mo bujangan, duda, maupun satu makhluk yang di-identifikasikan sbg bulok…itu smua pilihan bukan?? hahaha…
    after all, life is a matter of choice, huh?! n we should take all d risk indeed…
    luv u

  3. buloknya ada yg kaya surya ga neehh?? tempting jg untuk menelaahnya hihihi sebelumnya.. bravo to you nyak.. memaparkan dan meng’iklan’kan istilah bulok ke kita2 yg aku pribadi tidak tauuu tuuhh.. skrg jd tahu..trimakasiih..

    ya ya ya.. dibilang lumrah siy ga setuju..tp realita hari gene yaa bner jg.. namanya prasaan..ga bisa disumbat kaya air. apalgi kita para wanita yg kurang kokoh menerjang rayuan hahahaha
    setuju ma si queeninta.. pilihan.. resiko ditanggung yg membuat pilihan hehehe

    aku pribadi siiy.. memilih tak ingin dibagi2 hehehe tp untuk bulok.. sukses aje dah.. one day pasti kena batunya kok..

    peace euy
    ULay

  4. wah… wah…
    satu lagi propaganda wanita nih…

    Bagaimana dengan “WaLok” (Wanita Lokal)…?

    Kata Bang Napi :
    “Kejahatan (baca:perselingkuhan) bukan hanya karena ada niat pelaku, tapi juga karena ada kesempatan (baca: pasangan selingkuh pelaku)”..

    Hidup Bulok…. (walau hanya 3 bulan awal Tsunami jadi Bulok)…

  5. Sebagai lelaki sejati, kita selalu memegang falsafah “Sang Surya”, dimana sang surya tidak pernah letih untuk menyinari alam semesta, tidak pernah berhenti sedetikpun, begitu juga dengan kaum Adam, yang selalu berusaha untuk memberikan cinta & kasih sayang yang terbaik yang bisa dia berikan, kepada siapa saja yang membutuhkan. ….. semoga ini memeberikan sedikit pencerahan bagi kita semua & menjadi suri teladan. To all the girl, who I loved before…….

  6. Cinta kan tidak harus memiliki….. cinta itu suci.
    Kalau kita memiliki banyak cinta, sebaiknya jangan dipendam saja, dishare agar bisa memberikan kebahagiaan bagi banyak orang yang membutuhkan.
    Lagian kalo (sampai) punya 2 belum jadi “succesfull man”, yah tinggal nambah aja, gitu aja kok repot………..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *