Kenapa sih akhir-akhir ini semakin banyak orang-orang yang meributkan tepatnya merasa kecewa setelah menonton film yang merupakan hasil adaptasi satu buku? Harry Porter yang banyak diprotes oleh penggemar bukunya karena film “tidak seindah aslinya”, lalu ada Da Vinci Code yang memang sedikit melenceng dari bukunya. Kabarnya The Kite Runner yang terjual 8 juta copy di dunia dan diterjemahkan ke 42 bahasa, malah akan segera tayang di Jakarta. Ada juga buku-buku lokal seperti Jomblo (kalo yang ini sumpah, emang bagusan bukunya, buts its oke..), Cintapuccino, Dealova hingga Jakarta Undercover. Dalam hal ini, tentu saja yang mendapat sorotan adalah buku-buku dengan kategori Best Seller.
Mungkin masyarakat pembaca buku semakin kritis, jika “kitab” yang diidolakan seolah berubah jalur karena ulah si sutradara. Cerita jadi kehilangan makna, terasa kurang renyah, tidak mewakili cerita sebenarnya bahkan ada yang berpendapat merusak bisa image buku yang sudah baik. Padahal sejak dulu sudah ratusan film yang diangkat dari buku. Sejak jaman Love Story (upsss, sorry gue lupa, Frank Sinatra apa Andy Williams ya), trus ada Scarlet Ohara, Messenge in a bottle, Original Sin, Erin Brokovich hingga Bridget Jones Diary. Tapi herannya, setahu aku film-film jadul dan berkualitas itu tidak banyak menuai protes. Bisa jadi karena tidak banyak yang baca bukunya (karena memang belum booming pembaca buku), jadi apa yang ditampilkan di layar perak dianggap penggambaran cerita seutuhnya.
Yang tampaknya bakal jadi bahan “keributan” baru adalah Ayat Ayat Cinta yang sudah “coming soon” di jaringan 21 dan Laskar Pelangi yang kata Bang Ikal lagi dalam tahap penggarapan. Ayat-ayat cinta yang sudah memasuki cetakan ke-30, ketika masih dalam tahap wacana untuk di-film-kan pun sudah menuai protes. Film yang diangkat dari buku dengan latar belakang islam yang kuat ini sudah dianggap tidak akan membawa ruh bukunya yang sarat dengan pesan-pesan agamis. Apalagi diperankan oleh artis-artis yang sebagian besar konon dipandang tidak agamis pula.
Pendapat orang memang selalu berbeda-beda. Tapi alangkah baiknya untuk menghindari kekecewaan, jika Anda pembaca sebuah buku kemudian Anda berniat menonton film-nya, amnesiakan dulu sesaat pikiran anda tentang buku yang Anda baca itu. Camkan baik-baik, film dan buku adalah dua media yang sungguh berbeda. Jangan berharap film itu akan mewakili bukunya. Tak perlu rasanya mencampuradukkan setting buku harusnya ada di setting film. Alur cerita di buku akan sama dengan film. Tak usah berharap menemukan tokoh idolamu di buku digambarkan dengan karakter yang sama persis dengan film. Jangan berpikir film adalah penggambaran hidup dari buku. Buku adalah media dimana semua setting, semua tokoh, semua alur bisa di-explore sesuka-sukanya penulis, tapi film punya keterbatasan walau dibesut oleh sutradara yang paling kaliber sekalipun.
Intinya, jangan menyangka dengan menonton filmnya, Anda akan mendapatkan kepuasan yang sama seperti ketika saat membaca bukunya. Buatlah diri serileks mungkin anggap ada dua makna yang akan diperoleh makna dari buku dan makna dari film. Dan tidak perlu coba-coba mencari kecocokan antara keduanya. Meski pasti ada benang merahnya, biarkan keduanya berdiri sendiri sendiri.
Please deh! Kamu kan nonton film bukan nonton buku dan kamu itu baca buku, bukan baca film! So simple.
Tapi aku kan pengen mendapatkan kepuasan…huush! eh maksudnya kalo aku pribadi gak bisa tuh menganggap dua makna berbeda dengan membaca dan menonton pelem. pokoknya tetep aja aku punya imajinasi sendiri dengan membaca bukunya. akibatnya yah aku selalu kurang puas dengan menonton pelemnya….hidup si enyak!yang mendorong daku selalu ingin terus membaca..hihi…
“don’t judge a book by it’s movie..” everyone has their own interpretation and imagination…
Makanya lebih baik nonton filmnya dulu baru baca bukunya, jadi ga menghujat. Walau akhirnya kebanyakan akan lebih menyenangi bukunya. Membaca buku dengan menghayalkan siap yg bermain didalamnya seperti sebuah film akan lebih memuaskan pribadi masing2. Dibanding hanya mengiukuti apa mau si sutradara yang mungkin banyangannya beda dengan dirik kita sendiri. Puih, pangakang banget yah kommentnya
yang enak seh, didepan komputer trus browsing internet….
hmm… kenapa ya.. orang mau menghabiskan banyak waktu ‘ntuk membaca bacaan yg gak berguna… :<
masih banyak kok buku yg lebih bagus n’ lebih bermutu isinya drpd buku2 yg hanya menggambarkan mimpi2 seseorang ato pengalamn hidup yg didramatisir + bumbu2 nya.. kayak di telenovela aja.. huhhh….
Buku dan film dua media yang berbeda, durasi bicara banyak kalo aku bilang, makanya film tak kan mungkin bisa persis seperti isi buku, apalagi kalo cerita nya fiksi, aku selalu bilang kalo benang merahnya sudah dapat sudahlah!
in the world no one was ideal guys
(angkat jempol kanan) … kali ini setuju 😉
[…] dia di Unsyiah awal 2008 lalu. Gue juga sempet ngeblog tentang ini, di beberapa tulisan gue; Nonton Buku Baca Film, Sekte Penyakit Gila, Laskar Pelangi The Movie is Coming dan My Maryaman Karpov. Bahkan tanpa […]