cerita secangkir kopi dalam sepotong rindu


Obrolan / Thursday, October 1st, 2015

Saya lupa pastinya kapan biji biji hitam itu mengisi separuh hidup saya. Yang saya ingat sekitar tujuh tahun lalu, meminumnya dengan campuran susu yang banyak saja sudah membuat jantung berdebar debar sepanjang hari. Saya terheran heran jika bertemu pencandu kopi yang bahkan meminumnya lebih banyak daripada air putih. Mbah Surip kata saya. Saya juga bingung menerka kenikmatan apa dibalik si hitam yang digandrungi dunia itu. Hingga kepindahan saya ke Aceh setelah itu merubah semuanya.

Dan kemudian saya tidak bisa lagi menghitung berapa tulisan di blog ini yang tercipta di warung kopi. Bahkan sebuah buku pernah terselesaikan hanya dengan duduk dengan segelas latte hangat. Sulit juga mengukur bagaimana segelas kopi telah membantu saya memberi banyak energi dan inspirasi untuk pekerjaan saya. Kata seorang teman kopi dan ngopi-ngopi adalah cara baru pembagi perspektif. “Ngopi-ngopi”-lah yang mampu menjernihkan pikiran dari virus-virus media yang mampu membelokkan pola pikir. Kopi juga ibarat pembasmi lemak jahat, sesekali kita perlu diet dari informasi yang simpang siur. Dan kopilah obat diet itu. Lucunya, kini makna kata “ngopi” seolah telah meluas. Seorang teman bertanya pada saya; dimana tempat ngopi yang enak di Bogor. Dengan bersemangat saya merekomendasikan beberapa tempat beserta ulasan tentang rasa dan keragaman kopinya. Eh, dia justru memilih resto yang menurut saya bukan kopi banget. Oh, baiklah,.mungkin saya saja yang memendekkan arti kata ngopi.

aroma-of-heaven_20150411_113123Sayangnya saya bukan pencinta kopi berlogo kepala manusia berwarna hijau -yang menenteng gelasnya ketika antri di lift- memuat derajat sosial pembawanya seperti naik dua kali lipat. Senang rasanya karena tahun-tahun belakangan mulai muncul gerai gerai kopi asli Indonesia. Dua tiga tahun yang lalu saya kenal dengan seorang Bapak yang membuka kedai kopi di garasi rumahnya. Bapak separuh baya ini telah lama malang melintang membantu petani kopi di belahan Aceh sana. Dia bilang, sebenarnya harga kopi yang dijual di kedai hijau tadi bisa lima kali lipat dari harga kopi yang bisa kita racik sendiri. Saya paham idealismenya. Kopi Indonesia berkualitas terbaik di jual di gerai-gerai Internasional. Branding yang luxury membuat harganya naik berkali lipat. Kopi telah menjelma menjadi bagian gaya hidup modern. Namun semua itu belum sejalan dengan nasib petani kopi kita. Pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dan swasta untuk membuat negara penghasil kopi terbesar ke-empat di dunia ini menjadi kaya karena kopi, Memangkas jalur pemasaran yang ribet dan berliku dan membuat petani kopi kita bangga karena hasil kerja mereka diakui dunia.

Ah, kopi. Urusan kecilmu jadi panjang, karena kamu tidak hanya bagian dari saya dan mereka tapi juga bagian dari negara dan dunia. Namun sejatinya Ini bukan hanya tentang kopi. Ini bukan hanya tentang dimana kita menikmati kopi itu. Ini adalah cara kita berbagi cerita, cari kita berbagi rasa. Ini adalah tentang kamu, dia dan mereka yang kita cinta. Kopi adalah suara hati., karena kopi adalah bahasa yang tidak terucap. Kopi adalah potongan rindu.

Semalam aku bermimpi
Kamu menjemputku di suatu tempat yang ramai
Kamu kelihatan segar sekali dengan kaus hitammu
Aku menyuguhkanmu secangkir kopi kesukaanku
Katamu:  “rasanya pahit… “
Kamu meminta aku menambahkan gula
..dan.. aku pun terbangun..
Is that true, when somebody appears in your dreams, its because that person misses you?

Tulisan ini dibuat untuk turut meng-kampanye-kan Pencanangan Hari Kopi Internasional di Indonesia, 1 Oktober 2015. Baca juga tulisan teman-teman saya dibawah ini:

 

Hits: 662
Share

6 Replies to “cerita secangkir kopi dalam sepotong rindu”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *