Ketika orang rame-rame mengubah profile picture-nya di Fesbuk dengan latar warna pelangi, saya gak ikut-ikutan latah. Awalnya saya pikir, itu buat lucu-lucuan aja. Kekinian gitu. Belakangan saya baru tahu, bahwa itu adalah campaign dukungan kepada LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender) dimana Amerika Serikat baru saja mengesahkan pernikahan bagi sesama jenis di 50 negara bagiannya. Kalau ditanya pendapat pribadi, Yaah,..saya ini sejujurnya orang kampung yang konvensional, tentu saja saya tidak setuju adanya pernikahan dengan sesama jenis. Tapi saya tetap respek dengan keputusan yang dirayakan oleh banyak kaum LGBT tersebut .
Seorang teman saya yang ikut memeriahkan momen ini –dengan memasang foto pelangi- berujar: Ah, selama dia gak ganggu gw sih, gw gak masalah.. gw respek aja! Nah.. kata kuncinya respek, bukan mendukung. So, bagi saya respek tidak sama dengan mendukung, dan ikutan latah membuat foto pelangi bagi saya adalah salah satu bentuk dukungan!
Oke..oke, jangan rame dulu… Saya mau jelasin kenapa saya respek, tetapi tidak mendukung. Ada ceritanya. Cerita yang lumayan panjang. Hahaha.. Saya punya beberapa teman gay, salah satunya baca disini. Ada diantara mereka yang menjadi sahabat dekat saya. Saya tahu kehidupan pribadinya, keluarganya, teman-temannya. Pun saya sering menghabiskan waktu bersama layaknya sebuah pertemanan. Ada yang aneh? Gak.. saya tahu mereka gay, diantara mereka pun kerap bercerita tentang kehidupan pribadi mereka, pacar-pacar mereka, pola hubungan mereka hingga urusan seksual (seriously!). Its your own personal business! Sebagai sahabat pun, mereka sangat baik! Pertemanan itu memang seperti pelangi, berbeda-beda di semua aspek termasuk beda di orientasi seksual, tapi esensi sebagai seorang mahluk sosial dalam pertemanan tidak boleh hilang. Lebih penting lagi, saya tidak menganggap mereka “berbeda”, they are human being. Bagi saya itu adalah bentuk respek dan penghargaan saya yang paling tinggi. Meski lucunya mereka sendiri yang sering menyebut dirinya “sakit”. Hehehe..
Anehnya, meski sebagian besar menyadari dirinya sakit, mereka tidak mencari obat penyakit itu, justru mendekati pemicunya dan malah menikmati.
Hingga pada satu titik, setelah berbagai peristiwa terjadi dalam persahabatan itu (yang tidak mungkin di-ekspos) saya merasa kian mengingkari hati nurani saya dengan memberikan respek yang lama-kelamaan seolah “mendukung”. Karena saya seolah “membiarkan” virus ini terus menyebar dan komunitas ini terus bertambah. Saya takut. Saya belum siap jika nanti anak-anak saya bisa menikah dengan sesama jenis, saya belum siap melihat anak-anak yang punya orang tua dari kelamin sama. Lebih mengerikan lagi saat ini banyak kaum gay yang menikah karena status saja dan itu mulai dianggap “lumrah”. Memang sih, dua hal tersebut debatable, pasti ada yang merespon: Loh, daripada anak-anak hidup dalam keluarga broken home? Hehehe.. silakan saja…
Banyak yang bilang (bukan saya loh…) bahwa mostly LGBT, deep inside hati mereka sebenernya menyadari ini dosa. Tapi dosa sering diukur dengan cara manusia yang bisa berubah dan subyektif. Saya bukan ahli agama, bukan kapasitas saya juga menghubung-hubungkan dengan agama. Saya menahan diri untuk gak bilang itu dosa apa gak. Apalah saya ini. Namun fakta menyedihkan yang ada di depan mata saya, adalah teman gay saya yang sibuk mengomentari hubungan yang tidak syariah antara laki-laki dan perempuan sementara ia sendiri tinggal serumah dengan pasangan gay-nya. Oh, come on..… kamu punya kaca gak sih? Fakta tadi cuma secuil anomali dan sangat subyektif personal bukan penilaian untuk kaum gay secara keseluruhan. Selebihnya, biar mereka yang lebih kompeten saja yang berkomentar dari sisi ini.
Meskipun ada yang bilang LGBT itu masalah genetis yang artinya bawaan orok, kenyataan yang berkembang LGBT itu bisa menular. Artinya, lingkungan juga sangat berpengaruh. Pengakuan seorang teman, ia “memilih” menjadi penyuka sesama jenis karena merasa kurang memiliki figur ayah dalam hidupnya. Pasti selalu ada alasan dan latar belakang (sosial) kenapa akhirnya mereka memilih menjadi kaum ini. Dan menurut saya belum ada angka statistik yang menunjukkan bahwa faktor genetik lebih besar dari pengaruh lingkungan. Bahkan dari beberapa obrolan, mereka bisa “mengajak” orang lain yang heteroseksual menjadi homoseksual. Nah Lo?!!
Namun sekali lagi, saya menghargai keputusan siapa pun untuk menjadi kaum LGBT. Ketidak-mendukung-an saya hanya bentuk untuk kembali ke hati nurani. Saya tidak ingin mengingkari hati nurani sendiri karena masih tetap percaya kodrat manusia itu berpasang-pasangan, tetapi bukan dari sesama jenisnya.
Akupun sama punya sahabat yg homoseksual. Bahkan obrolan seksual mereka bisa saya dengarkan seperti orang normal lainnya. Tp bukan brati saya jg setuju. Buktinya waktu mereka bilang mau berusaha untuk berubah. Saya lah orang pertama yg sangat mendukung keinginan dia. Walaupun hal itu tidaklah mudah