Dua hari ini berita-berita interprestasi hasil Quick Count jadi perbincangan yang tidak habis-habisnya.. Saya memang pendukung No 2, tapi untuk urusan survei-survei ini saya mencoba menyimak dengan sedikit pengetahuan yang saya punya secara obyektif. Kurang lebih ada 10 lembaga survei yang turut serta dalam quick count ini. Sebenarnya yang tercatat di KPU malah ada lebih dari 50 lembaga untuk keseluruhan survei menyangkut Pemilu. Hampir seluruh lembaga tersebut memaparkan metodologi yang mereka lakukan untuki quick count ini. Bahkan beberapa diantaranya merilis hasil per provinsi. Menurut saya beberapa lembaga seperti CSIS, RRI dan Litbang Kompas yang lembaga kredibel dan punya nama. Rasanya sulit bagi mereka untuk mempertaruhkan integritas mereka demi memihak salah satu capres. Bahkan SMRC salah satu lembaga yang juga nimbrung disini, memiliki sampling hingga 4000 TPS, terbesar di antara yang lain yang rata-rata melakukan survei 1000-2000 TPS. Dalam pandangan saya, quick count berbeda dengan survei biasa. Disini respondennya sudah sangat jelas baik dari sisi demografi maupun kepentingan. Beda dengan survei biasa yang dapat memilih responden secara acak. Penentuan TPS yang menjadi sampel, seharusnya sudah memperhitungkan kondisi geografis, sebaran jumlah TPS itu sendiri bahkan wilayah-wilayah dengan perhatian khusus. Misal kalau sampel lebih banyak dilakukan di Jawa Barat (atau tidak menyeimbangkan dengan provinsi lain), otomatis Prabowo akan menang. Karena Jawa Barat adalah sarang Capres No 1 tersebut. Hasil sebaliknya juga terjadi bila dilakukan dengan komposisi lebih banyak di Jawa Timur, pasti Jokowi menjadi mayoritas.
Hasilnya, secara umum pasangan Jokowi-JK, rata-rata unggul dengan selisih 5-6%. Tapiii… (ada tapinya) seperti kita tahu semua, TVOne yang anti mainstream merilis hasil survei yang sangat berbeda dengan TV-TV lainnya. Disini presiden pilihan mereka adalah Prabowo. Loh kenapa cuma TV One dan MNC Grup yang beda yaa? Tanyaa Kenapaa??! Ini bagi saya kekonyolan yang terlalu kentara. Sudah pada tahulah siapa pemilik TV-TV itu dan dimana posisi politik mereka. Belum lagi lembaga-lembaga survei yang mereka gunakan adalah yang masih dipertanyakan kredibilitasnya. Salah satu diantaranya, pernah terlibat urusan dengan pihak kepolisian karena memanipulasi hasil survei Pilkada Gubernur Sumsel beberapa waktu lalu. Bahkan di media sosial sempat beredar capture foto proposal “rencana kemenangan” bagi Prabowo-Hatta dengan nilai Rp8 Miliar yang diusulkan oleh salah satu lembaga riset mereka itu. Kalo yang ini wallahualam ya… namanya juga berita. Hehehe.. Konon proposal tersebut diajukan ke pihak Jokowi dan ditolak mentah-mentah.
Lembaga riset yang benar pastilah menggunakan metode sampling yang dianggap paling mewakili. Untuk populasi yang sama (pemilih), distribusi pemilih, wilayah mereka, sampai ke demografis sampel harusnya sudah dirancang dari awal dengan tujuan mengurangi error dan membuat hasil yang dapat merepresentasikan populasi keseluruhan. Penyimpangan pasti ada, namun seharusnya, jika mereka menggunakan kaidah statistik yang sama, perbedaan yang terjadi tidaklah akan signifikan. Hal lain yang perlu ditekankan adalah obyektifitas. Sah sah saja satu stasiun TV membayar satu lembaga tertentu untuk melakukan survei. Tetapi, selama hasilnya dipolitisir untuk kepentingan sendiri, itu tidak beda dengan menipu dan membohongi diri sendiri
Oleh karena itu, hanya satu yang susah dipegang disini:
etika manusia yang melakukan pekerjaan ini.
Kekonyolan selanjutnya adalah bantahan seorang politikus Partai Golkar pendukung Prabowo yang mengatakan alasan mereka mengeluarkan hasil survei yang berbeda tersebut adalah untuk MENGIMBANGI pemikiran masyarakat yang sudah menganggap Jokowi Presiden, padahal belum ada pengumuman resmi. Haaaa!!?? Maksud lo, buat mengimbangi, boleh keluarin yang validitasnya diragukan? Saya gagal paham disini. Maaf lahir batin..
Keganjilan paling parah adalah, deklarasi Prabowo yang menyatakan sudah menerima mandat dari rakyat RI. Bahkan Lagi-lagi katanya ini untuk mengimbangi kubu sebelah. Yah, kubu sebelah juga ada salahnya sih, mungkin sudah terlalu eforia jadi ada yang tidak terkontrol. Lucunya di satu wawancara, Prabowo bahkan bilang tengah menyiapkan susunan kabinet. Hadeeuuh, maju 5 langkah, sob!
Sejujurnya saya sedih dengan kondisi ini. Hasil quick count itu, bukan fokus saya lagi. Jika memang hasil quick count yang diusung TVOne itu masih diragukan validitasnya, sementara partainya sudah klaim menang, ini adalah bentuk pembodohan baru bagi masyarakat. Kita digiring untuk percaya dengan hal-hal yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan. Opini publik digiring untuk ragu-ragu terhadap hal-hal yang sebenarnya bukan hal sulit untuk dicerna dengan logika. Kecewa, jika memang survei-survei TVOne “sengaja” di-create untuk “mengimbangi” artinya sama saja masyarakat pendukungnya dipaksa membohongi diri sendiri alias lari dari kenyataan. Maaf banget, buat saya ini adalah satu cermin sikap otoriter. Ini belum berkuasa loh, apalagi kalau udah?! Dan ini memalukan. Begini cara membuat bangsa sendiri menjadi macan? Begini cara membuat asing takut dengan Indonesia?
Meski begitu, Saya bersyukur masih banyak orang yang bisa menilai semuanya dengan obyektif. Biarpun dampaknya TVOne menjadi sasaran bully nasional di sosial media. Tidak itu saja, satu hari setelah berita bodong itu terus menerus ditayangkan saham MNC Group dan Viva anjlok. Pada akhirnya kejujuran adalah kunci utama bisnis apapun itu. Kini berbagai lembaga survei terang-terangkan menantang quick count yang dilakukan oleh kubu Prabowo. Hingga saya menulis paragraf ini, belum ada satupun tanggapan dari pihak TVOne tentang survei mereka. Satu berita malah mengatakan, Puskaptis sebagai salah satu biro riset TVONe secara tersirat menyatakan tidak bersedia diaudit. Tahu-tahu mereka muncul lagi dengan real count yang katanya dilakukan oleh relawan PKS. Tentu saja hasilnya memenangkan kubu Prabowo. Mungkin ini maksudnya buat menghibur diri sendiri. Hehehe… Namun, lagi-lagi berita yang beredar di media, real count tersebut adalah copy paste dari survei sebelum Pilpres yang juga dilakukan oleh relawan PKS. Kebangetan ini sih kalo boong… Semoga cuma hoax yaa…biar dosa kita sama-sama gak nambah..
Terakhir, berkaca dari hasil quick count untuk Pemilu maupun Pilkada sebelumnya, selisih nilai quick count antara real count tidak pernah terpaut lebih dari 1-2%. Jadi, sekali lagi jika quick count dilakukan oleh lembaga yang kredibel, dengan metode yang benar serta tidak disusupi kepentingan satu golongan, Insya Allah hasilnya tidak jauh berbeda. Dua kejadian sebelumnya; Foke mengucapkan selamat kepada lawannya: Jokowi di Pilgub Jakarta 2012 setelah pengumuman Quick Count di hari yang sama. Bahkan SBY sudah mengucapkan Selamat kepada PDIP sebagai partai pemenang pemilu 2009 pun di hari yang sama, 9 April 2014. Sementara itu, Presiden RI 2014? Kita tunggu tanggal 22 Juli yaa… Biar gak berantem dan biar yang memang kalah sudah siap mental. Bukan siap menyusun “strategi baru”.
Salam damai Indonesia!
Quick count sebenarnya tidaklah terlalu penting, tetap saja rakyat akan menunggu hasil yang sesungguhnya dari KPK. Semoga di pilpres 5 tahun mendatang, para capres kita tidak menghamburkan uang demi membayar sejumlah lembaga survey. Lebih baik uangnya untuk membantu rakyat secara langsung 🙂