KDRT: Gw harus bilang WOW, sambil koprol!!


Sahabat / Saturday, November 10th, 2012

Seringkali saya membaca berita tentang kekerasan suami kepada istri, bahkan pacar kepada pacarnya.  Dari yang “cuma”luka-luka sampai yang berakibat kematian. Sadis. Sebagian pelaku pada berita-berita tersebut datang dari kelompok masyarakat menengah bawah dengan tingkat pendidikan yang minim. Lalu, ketika saya menemui hal yang sama terjadi di lingkungan saya, tepatnya dengan beberapa sahabat, saya sedikit shock. Oh, ternyata cerita-cerita begitu bukan cuma berita murahan detikcom, koran lampu merah atau sinetron. Itu nyata adanya.  Lalu, postulat bahwa kejadian begitu datang dari mereka yang tidak sekolah tinggi-tinggi ternyata salah. Yang saya lihat di depan mata, pelaku kekerasan ini adalah mereka dengan pendidikan di atas rata-rata bahkan mengagumkan. Beberapa waktu lalu, seorang sahabat saya memutuskan untuk berpisah dari suaminya, karena tidak tahan atas perlakuan kasar sang suami yang tak ubahnya seperti petinju. Bahkan berani melakukan kekerasan itu di depan umum. Padahal saya pikir teman saya ini sangat beruntung dari sisi materi, pendidikan bahkan kehidupan sosialnya yang sangat baik.  Saya tidak bisa bercerita lebih detail tentang kekerasan yang terjadi, kecuali satu kata: kejam. Sahabat saya kedua, seorang ibu satu anak yang belum lama saya kenal. Ini bener-bener gw harus bilang WOW, sambil koprol. Dia menuturkan dalam lima tahun pernikahannya, kekerasan adalah makanan biasa sehari-hari. Bahkan di tahun pertama, dia pernah terapi saraf otak selama enam bulan karena benturan keras di kepala yang dilakukan suaminya, sempat membuatnya tak sadarkan diri beberapa saat. Jujur, saya yang ngeliat kucing kejepit pintu aja ngeri apalagi melihat manusia (baca: perempuan) dianiaya oleh orang yang katanya paling mencintainya sejagad dunia raya. Sekarang sih, katanya… (katanya) kalau mukul gak di kepala lagi. Tetap saja namanya mukul.

Sahabat yang pertama, tidak perlu dibahas, karena akhirnya mata hatinya terbuka bahwa ini bukan hidup yang normal. Nah, teman saya yang kedua ini masih terkukung dengan satu teori bahwa mengabdi pada suami adalah ibadah, dan menerima kekerasan adalah bagian dari itu. Pengabdian jelas ibadah, apalagi sebagai muslim, itu wajib. Tapi mengabdi dengan “bonus” kekerasan fisik apa masih ibadah namanya? Adakah prinsip yang lebih bodoh dari itu?! Atas nama cinta? Ya Tuhan,..tetapi membiarkan badan lebam dimana-mana, hati yang sakit ditambah lagi ongkos berobat tidak sedikit (yang ditanggung sendiri). Disini, Saya  tidak tahu cinta itu dimana dan bentuknya seperti apa.

Saya masih sulit menerima alasan kalau ada yang bilang di beberapa kasus, cinta sering diungkapkan melalui kekerasan. Buat saya ini konsep edan.

Saya pernah mengalami kekerasan verbal dari seseorang, sekarang saya sudah memaafkan dia. Meskipun masih ada kengerian yang besar kalau itu terjadi lagi.  Efeknya  luar biasa, membuat mental sangat sangat down. Bahkan kata-kata buruknya masih membekas dan kalau diulik-ulik itu pengaruhnya besar sekali buat kejiawaan saya. Perasaan hina, dina tidak berarti setelah memperjuangkan hampir semua hal untuknya itu masih lekat sekali.  Untungnya, saya segera bangkit dan sadar, ini tidak boleh berlanjut.  Terlepas siapa yang benar dan salah, ternyata kemarahan pun perlu manajemen agar tidak merusak kejiwaan orang lain. Bukan saya tidak kuat mental ya, tapi ada tetap ada koridornya. Dan yang pernah terjadi sudah melewati koridor sebuah kemarahan verbal yang normal. Ah, sudahlah.. Ini bagian curcol aja. 😀

 
Itu baru yang verbal, bagaimana dengan fisik plus verbal yang dialami teman-teman saya itu?! Saya belum menikah, tapi saya perempuan yang sangat sangat bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Dari beberapa artikel-artikel psikologi yang saya baca, laki-laki yang terbiasa melakukan kekerasan fisik kepada pasangannya, 90% pasti akan mengulanginya. Tidak mudah dan butuh waktu yang lama untuk merubah karakter ini. Jika ditelurusi lagi, pasti ada latar belakang yang menyebabkan seorang laki-laki bertemperan keras dan main tangan begini. Tapi masalahnya, masihkah perempuan bertahan “menyerah”, mengorbankan fisiknya, perasaan dan harga dirinya atas nama cinta dan pengabdian kepada suaminya? Oh.. Come on…

Hits: 315
Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *