Sudah hampir tiga puluh menit kita disini. Aku masih saja mengaduk-ngaduk sanger* dingin yang sebenarnya tidak perlu diaduk lagi. Aku merapihkan kerudung merah jambuku sambil sesekali menyimak obrolan tetangga sebelah meja kami. Topik politik daerah ini nampaknya tidak pernah habis untuk digunjingkan. Ah, menyesal. Kalau tahu begini, harusnya tadi aku membawa komputer jinjingku, memanfaatkan wifi kedai kopi ini dan menulis hal-hal random di blog-ku. Bisa juga membawa buku bacaaan sambil menikmati nasi kuning terenak di kota ini.
Sementara kamu masih saja sibuk mengutak-ngatik telepon genggammu yang sudah butut, berbunyi pun aku rasa susah. Aku tahu, telepon itu sudah jatuh berkali-kali sampai-sampai kamu “menambalnya” dengan plester bening lebar yang aneh. Kopi hitam yang kamu pesan sama sekali belum kamu sentuh. Kualihkan tatapanku ke wajahmu, kamu mengetuk-ngetukkan telepon itu ke meja kayu kedai ini. Matamu memandang dengan tatapan kosong dan bingung ke sungai kecil di depan kedai kopi di pusat kota Banda Aceh ini. Dingin sekali.
Aku kembali bertanya; “Ada, apa.. kamu sakit?” dan untuk ketiga kalinya kamu balik bertanya bertubi-tubi:
“Kamu tidak marah kalau aku jujur akan sesuatu?”,
“Kamu masih mau jadi sahabatku?”,
“Kamu yakin tidak akan meninggalkan aku?” .
Aku menarik nafas. Kuambil batang korek api dari perangkat rokokmu. Aku menyusun beberapa batang seperti mainan masa kecilku. Aku pun bingung harus menjawab apa. Pertanyaan yang sangat retorik untuk sepasang sahabat baik seperti kita.
“Aneh, perlu dijawab?”, kataku..
“Kamu sakit?” HIV? AIDS?
Langsung saja aku ucapkan nama penyakit itu. Dalam bayanganku hanya itu penyakit paling parah sampai sampai kamu perlu waktu khusus untuk mengakuinya padaku. Tapi jawabanmu tetap hanya diam.
Tiga hari yang lalu di warung kopi yang sama kamu datang padaku. Wajahmu kuyu, rambutmu kusut masai. Buruknya lagi lisanmu menunjukkan betapa kesalnya kamu akan seseorang yang katamu kekasihmu. Kamu bilang, pacarmu itu datang dari Jakarta, berlibur ke Sabang tanpa memberi kabar sedikitpun padamu. Katamu lagi, kalian baru saja ribut. Kamu menyusulnya ke Pulau Weh, tetapi ternyata kekasihmu itu sama sekali tidak peduli padamu. Ia terlalu sibuk dengan teman-temannya. Kamu tak kurang upaya, menyusulnya ke hotel tempatnya menginap. Sempat menemaninya melakukan aktivitasnya, tapi masih direspon dengan dingin. Aku tahu saat itu posisiku hanya sebagai pendengar keluh kesahmu. Aku hanya sedikit memintamu bersabar dan berusaha menenangkanmu dari emosi pun yang saat itu sangat meledak-ledak.
Beberapa bulan terakhir, kamu selalu bercerita tentang kekasihmu. Dia orang asing, setidaknya begitu menurut pengakuanmu. Seperti kita, ia juga bekerja untuk proyek kemanusiaan pasca tsunami disini. Sementara, kamu laki-laki lokal yang tegap, gagah dan cerdas. Aku pikir kekasihmu pasti sosok yang beruntung. Perbedaan bangsa tentu saja bukan masalah. Cinta Lokasi (Cinlok disini sudah jadi hal yang biasa.
Kita baru kenal satu tahun ini, tapi kedekatan kita seperti sudah saling mengenal lebih dari lima tahun. Aku menemukan kenyamanan denganmu karena kita bisa bercerita dan berbagi tentang banyak hal. Termasuk kekecewaanku pada seseorang laki-laki masih dengan tema sama: Cinlok. Kamu pasti masih ingat, di suatu pagi di Bandara Polonia Medan kamu membantuku menyeka air mataku yang tak terbendung karena ulah laki-laki itu.
Kamu sahabat laki-laki yang sangat baik. Kamu sering bilang padaku untuk berhati-hati “berkencan” di kota ini, dimana unsur-unsur syariah masih dipegang ketat. Tapi ketika aku bertanya, kenapa kamu bisa menemani kekasihmu itu menginap di hotelnya tanpa kekhawatiran? Kamu menjawab dengan datar: ‘karena dia orang asing”. Aku pun malas berdebat atas jawaban itu. Berkali-kali aku minta kepadamu untuk mengenalkannya. Kamu selalu berkilah, kekasihmu itu sibuk. Saat ini ia lebih sering bertugas di kantor pusat Jakarta daripada disini.
Empat puluh menit berlalu. Belum satupun ucapan berarti yang kamu utarakan. Tadi siang kamu menjemputku, mengajakku kesini karena katamu kamu ingin membuat pengakuan. Pikiranku menerawang. Sulit bagiku untuk menebak lagi.
Hei,.. tiba-tiba satu pikiran liar bermain di kepalaku. Ini pengakuan cinta? Mungkinkah? Kita dekat dan sama-sama baru saja disakiti. Kita saling berbagi, kita (mungkin) saling menyayangi bukan mustahil, kan kalau akhirnya kita saling mencintai sebagai sepasang kekasih? Aku senyum senyum sendiri. Aku mencoba menatap matamu yang kosong. Mencari sesuatu bernama cinta disana. Tidak ada. Kemudian aku mencoba masuk ke dalam hatiku sendiri. Sama, tidak ada. Datar. Pikiranku buntu.
Lagi lagi kamu memandangku, bertanya hal yang sama: “kamu gak marah?” Aku sudah bosan menjawab pertanyaan itu. Kali ini gantian aku yang sibuk dengan telepon genggamku yang tentu saja lebih canggih dari punyamu.
Tiba tiba kamu mengambil teleponmu, menulis sesuatu di menu pesan. Kamu bilang, lebih baik ditulis daripada diungkapkan. Aku menunggumu menyerahkan tulisan itu atau mengirimkan pesan itu ke teleponku. Itu pun tidak kamu lakukan. Telepon butut itu kamu putar-putar searah jarum jam. Hingga 10 menit kemudian, kamu berikan padaku. Ekspresimu datar. Aku membaca pesanmu, terdiam beberapa detik mungkin nafasku berhenti sesaat. Hingga akhirnya kamu menyentuh tanganku dan berkata; “ Yuk, aku antar pulang”.
Masih diliputi rasa terkejut, aku berdiri mengikutimu. Masih terbayang-bayang pesan itu dimataku, pesan yang akan selalu aku ingat tapi tidak akan pernah merubah posisiku sebagai sahabatmu. Pesan yang tidak akan membuatku memandang sebelah mata padamu. Pesan yang akan tetap membuatku selalu menghargaimu.
Katamu: “pacarku seorang laki-laki”.
[…] mendukung. Ada ceritanya. Cerita yang lumayan panjang. Hahaha.. Saya punya beberapa teman gay, salah satunya baca disini. Ada diantara mereka yang menjadi sahabat dekat saya. Saya tahu kehidupan pribadinya, keluarganya, […]