Sosok bapak yang satu ini, rame diperbincangkan media massa setahun terakhir. Mulai dari sepak terjangnya ketika masih menjadi Dirut PLN lebih lebih lagi sekarang ,saat ia menjabat Menteri BUMN. Pemimpin Koboy menjadi julukannya. Saya sendiri sih, sebenernya udah cukup lama tahu Bapak ini sejak saya bekerja di Majalah SWA yang sering menjadikan beliau sebagai contoh sukses pengusaha media. Bagi yang belum tahu, Dahlan Iskan adalah pemilik Jawa Pos Grup salah satu konglomerasi media di tanah air. Tahun 2011 “tanpa sengaja” saya jadi ikut mengamati sepak terjang beliau karena “bantuin” ide karya ilmiah seseorang menyangkut BUMN. Hadeuhhh… Dari sini, saya mulai membaca hal-hal terkait BUMN dan beberapa buku yang ditulis sendiri oleh Dahlan Iskan. Buku beliau yang paling berkesan buat saya adalah Ganti Hati (2008) yang menceritakan pengalamannya menjalani proses Transplantasi yang juga mengandung cerita otobiografi beliau. Bahasa bukunya sih kata gw, rada acak-acakan, harus banyak melalui proses editing agar kalimatnya lebih sempurna. Eh, tapi justru itu yang jadi kekuatan buku ini. Bahasanya yang “asal” itu membuat isi buku ini jadi lebih “nancep” di kepala pembacanya.
Nah, apa hubungannya dengan Adversity Quotient (AQ)? Oh, ya AQ ini jenis kecerdasan “baru” (eh gak baru baru amat sih…) setelah IQ, EQ, SQ dan ESQ atau mungkin aja masih ada Q-Q yang lain. Hehehehe. Definisi Q-Q itu cari sendiri aja di mbah google ya.. Gw mo cerita soal AQ aja. AQ pada dasarnya adalah kekuatan mental seseorang untuk berjuang menghadapi semua tantangan dalam hidupnya. AQ dapat menjadi indikator seberapa kuatkah seseorang untuk terus bertahan dalam suatu “perjuangan” sampai pada akhirnya ia dapat keluar sebagai pemenang, mundur di tengah jalan atau bahkan tidak mau menerima tantangan sedikit pun.
Dengan kata lain AQ dapat digunakan sebagai indikator bagaimana seseorang dapat keluar dari kondisi yang penuh tantangan. So, AQ itu bukan bawaan lahir tapi didapat dari tempaan dan pengalaman hidup. Ada proses yang tidak sebentar untuk melihat AQ seseorang.
Diceritakan pada buku Ganti Hati, Pak DI lahir dari keluarga yang serba kekurangan, ibunya meninggal dalam usia muda, mereka jarang makan nasi bahkan sepatu pertama yang dimiliki oleh Pak DI adalah sepatu bekas yang bolong di depannya. Itu pun “berhasil” ia miliki saat usianya beranjak remaja. Sedih ya, kalo dipikir-pikir.. Tapi Pak DI selalu menegaskan: “jangan berpikir orang miskin itu tidak bahagia,loh… Mereka bisa bahagia dengan kondisi yang menurut kita yang “berpunya” ini sangat miris. Again, Happiness is relative!!
Soal sepak terjangnya, gw rasa sudah terlalu banyak diliput media. Saya mencontohkan satu yang sederhana, beberapa waktu lalu, Pak DI me-launching kartu tol dan doi sendiri yang langsung turun jualan ke gerbang tol. Menurut gw, ini ide sederhana yang cerdas. Dia cuma meluangkan waktu sejam, dua jam buat mejeng di gerbang tol, tapi gema produk -yang bekerja sama dengan sebuah bank BUMN itu – diliput secara besar-besaran oleh media tanah air secara serentak. Investasinya “hanya” waktu beliau, tapi hasilnya, iklan gratis dimana-mana. Coba, kalo dirancang dengan strategi komunikasi khusus, paling cepet tiga bulan tim marketing mikirin gimana caranya plus biaya promosi yang gak sedikit. He’s simple and smart!
Padahal Pak DI ini gak sekolah tinggi-tinggi yang gelarnya berderet-deret. Yang bikin doi cerdas? Ya itu, AQ-nya tinggi karena pernah begitu struggle dalam hidupnya. Perjuangan beliau untuk hidup bukan yang penuh fasilitas dan kemudahan. Otaknya “dipaksa” biar terus bekerja untuk survive yang merembet terus ke kecerdasan secara umum. Hmmmm.
Pak DI hanya satu contoh aja. Banyak banget tokoh-tokoh terkenal baik dari pengusaha, artis, politisi yang menjadi luar biasa karena pergumulan berat dalam hidupnya. Andrea Hirata dan Laskar Pelangi yang sejak kecil sudah konsisten bercita cita kuliah di Sorbonne, Perancis atau kegigihan Iwan Setyawan penulis Nine Summer Ten Autumns yang cuma punya satu cita cita yaitu punya kamar tidur pribadi hingga ia mencapai posisi Direktur di sebuah perusahaan kelas dunia di New York. Saya yakin banyak lagi orang-orang besar negeri ini yang sama hebatnya dengan “para dewa” tersebut. Mereka pasti ber-AQ yang tinggi.
Namun sayangnya, sejauh ini yang gw amati, kok mereka-mereka yang “sukses” itu kebanyakan adalah mereka yang bangkit karena keterpurukan ekonomi. Jaman memang sudah berubah, ekonomi masyarakat secara umum makin membaik tapi dampaknya banyak generasi yang “dimanja” oleh fasilitas dan kemudahan. Memang ada “perjuangan” dalam bentuk lain, secara katanya hidup adalah perjuangan.. Tapi kok, gw masih lebih percaya orang-orang yang sukses secara fisik dan mental itu adalah mereka yang asal muasalnya miskin secara finansial. Hipotesis ini masih bisa didebat sih. Hayooo, yang ngerasa anak orang berduit bisa jadi protes nih.. Hihihi..
But eniwei, apapun bentuknya semua harus disyukurin. Kalo sekarang kita miskin, jangan sampai anak cucu kita nanti miskin juga. Mari belajar tentang perjuangan hidup dari orang-orang besar seperti Pak DI.
Wah, blog-nya rame..
*) Pinjem dong mbak bukunya 😛
Bolehhhhhh… Asal dibalikin yahhhh.. Hihihihi