Would you like to eat, madam? We have chicken with rice and beef with potatos…
Belum sempat saya menjawab, pramugari cantik itu meralat: Oh, I think you’d better get moslem meal? We have that one too..
Ok, moslem meal, please ..
Saya tidak tahu ini makan malam, makan siang atau mungkin sarapan. Perpindahan waktu yang begitu cepat dari benua Amerika menuju benua Asia terkadang membuat disorientasi waktu terjadi. Jendela pesawat masih tertutup rapat, mungkin dimaksudkan agar penumpang juga tidak bingung ini siang atau malam. Karena masih kenyang, santapan itu tidak saya habiskan. Belum lagi moslem meal yang disajikan sangat otentik Timur Tengah lengkap dengan bumbu rempah menyengat dan porsi yang cukup besar.
Saya mencoba memanjangkan kaki, mengurangi rasa pegal yang mulai menyerang. Lama dan sungguh perjalanan yang melelahkan. Layar monitor sekaligus pusat hiburan di depan saya menunjukkan masih tersisa 8 jam 40 menit lagi di perjalanan ini. Artinya baru kurang dari sepertiga periode terlalui dari total waktu 12 jam 45 menit penerbangan. Masih jauh, pikir saya. Namun setahun yang lalu saya pernah menempuh penerbangan selama 17 jam nonstop dari Los Angeles menuju Riyadh di Arab Saudi. Katanya itu adalah salah satu rute pesawat terpanjang di dunia. Jadi, perjalanan kali ini belum apa-apa dibandingkan tahun lalu.
Beberapa penumpang nampak masih menghabiskan hidangan, sementara para awak kabin mulai masih meneruskan melayani penumpang. Sesaat kemudian, lampu sabuk pengaman mendadak menyala. Kapten pilot meminta seluruh penumpang untuk kembali ke tempat duduknya. Saya masih santai, sesuatu yang sangat biasa terjadi di sebuah penerbangan. Tiba tiba seluruh awak pesawat berlari-lari kecil ke bagian belakang pesawat, menyusul pengumuman tambahan dari Kokpit, untuk menghentikan seluruh pelayanan karena turbulensi yang semakin kencang.
Cepat-cepat saya menegakkan sandaran kursi, guncangan yang sangat keras membuat saya harus menutup laptop mini saya. Entah kenapa tiba-tiba kecemasan menelusup ke sendi sendi tubuh. Saya mencoba memejamkan mata, sembari kedua tangan berpegang kuat pada sandarannya. Guncangan kian kencang, terasa sekali pesawat terhempas ke bawah berkali kali. Untung saja masker oksigen belum meluncur dari posisinya. Tak berapa lama dari balik kemudi kapten pesawat memohon maaf atas ketidaknyamanan yang diprediksi akan berlangsung selama satu jam ke depan. “We do ensure that everything is under control”, ujarnya.
Badan ini seperti membeku, entah berapa banyak doa yang tiba-tiba begitu saja meluncur. Dalam keremangan kabin, beberapa penumpang terlihat tegang, beberapa diantaranya masih tertidur atau berusaha tidur. Begitu saja termemori beberapa kejadian di kepala saya. Sepuluh tahun lalu dalam sebuah penerbangan Jakarta-Makassar, pesawat saya terpaksa mendarat di Bandara Ngurah Rai. Cuaca sangat buruk, membuat penerbangan tidak memungkinkan untuk dilanjutkan. Lima tahun lalu, pesawat saya menuju Aceh terpaksa kembali ke Jakarta, akibat ada salah satu bagian pesawat yang tidak berfungsi. Kami pun terpaksa mendarat di luar landasan pacu Bandara Soekarno Hatta, disambut puluhan pemadam kebakaran dan ambulans. Saya tidak ingat dengan pasti perasaan saya di dua peristiwa itu, namun kecemasannya mungkin tidak sekuat kali ini.
Turbulensi kian kencang. Entah kenapa begitu saja muncul pikiran, bisa jadi ini adalah akhir hidup saya. Mungkin, sangat mungkin. Terlintas apa saja yang sudah saya siapkan untuk pindah ke dunia yang berbeda? Ibadah sepertinya belum banyak peningkatan, berbuat baik untuk sesama juga masih di derajat yang seperti dulu. Terbayang satu-satu wajah orang-orang di sekeliling saya. Keluarga yang penuh cinta, sahabat-sahabat yang selalu menanyakan kapan saya kembali, relasi yang sudah menunggu dengan setumpuk pekerjaan dan semuanya.
Apa yang akan mereka kenang dari saya? Beberapa menit ke depan mungkin saya akan hilang. Samudera atlantik biru pekat kehitaman ribuan mil di bawah sana menanti saya. Apakah saya juga akan hilang dari ingatan mereka? Rasanya Saya belum berarti apa-apa. Rasanya Saya belum banyak berbuat kebaikan. Rasanya saya belum banyak bermanfaat untuk mereka. “Ah, tenang.. sepertinya tidak perlu khawatir, saya toh menumpang salah satu maskapai terbaik di dunia dengan tingkat keamanan nomor satu”
Sloppp…tiba-tiba pesawat turun drastis dari posisinya. Saya tersentak. Ternyata Ini bukan masalah saya menumpang pesawat terbaik di dunia, bukan masalah teknologi paling canggih yang digunakan di burung besi bermerek terkenal yang katanya nyaris tanpa histori kecelakaan. Tapi ini urusan nyawa, bahwa semua bisa diambil Tuhan kapan saja Ia berkendak. Mungkinkah Ia menghendaki Saya sekarang?!
Ya, Tuhan…darah saya tiba-tiba berdesir, saya lupa apa yang sudah saya siapkan untuk “masa depan’ saya. Amalan baik? Mana?! Saya juga tidak yakin dengan ibadah Saya. Ya, Allah tolong.. saya tidak tahu lagi kemana meminta pertolongan. Mungkin inilah masa dimana saya menyerahkan seluruhnya kepadaMu. Seluruhnya. Saya sungguh tidak tahu lagi.
Dalam masa-masa yang mendebarkan itu, entah doa apa saja yang sudah saya lantunkan. Saya coba pejamkan mata, apa yang akan terjadi, terjadilah. Inilah titik terendah kepasrahan saya kepadaMu, sang pencipta.
Kemudian hening, guncangan terasa mulai mereda. Pelan tapi pasti pesawat makin seimbang. Beberapa menit kemudian, Pilot memberikan instruksi kepada awak kabin dan semua kembali normal.
Saya berucap syukur. Dua puluh menit mencekam yang baru berlalu membuat saya makin menyadari tipisnya jarak antara hidup dan mati. Akhirat sejatinya ada di depan mata kita, semua bisa mati dimana pun kapan pun dengan cara apapun. Maka… Tuhan, ampuni kami….
Incheon Airport, 23 Februari 2017
aaahhh vika, tulisan yg bagus, terimakasih sudah mengingatkan. memang benar jarak antara kehidupan dan kematian sangat tipis 🙁
Aku mengingatmu sebagai orang yang baik kok, Kak 🙂
pernah kayaj gini juga waktu terbang dari denpasar ke surabaya. mana posisinya lagi diatas udara sekitar malang pula. kan banyak gunungnya itu. untung akhirnya aman terkendali juga!
Love u nyaak!! Thank God u were ok n thanks dah diingetin
Been there done that. I feel u Vikaaaah!
Aku berkaca-kaca membacanya…berasa hampir kehilangan salah seorang teman baik yang sudah seperti keluarga sendiri…Alhamdulillah Allah masih melindungi elo Vik….-Mpok-
Saya Rajin membaca tulisan ka Vik. Sepertinya ini salah satu yg terbaik.
Thanks kiting…
Entah kenapa kalau naik pesawat sellu merasakan hal2 seperti it ya. Secar nggk langsung pasti ada doa yang tersirat.
Bac tulisan ka vika yg ini bikin aku keinget kejadian naik pesawat waktu ke balikpapn.
ati2 ben… hahahaha
Ya lord. Aku udah komentar. Akupun udah baca di buku ka vika juga. Selain balikpapan. Penerbangan sby-jkt bikin aku cukup trauma. Telinga berdengung kencang banget dan sakitnya bukan kepalang. Pas mendarat. Telinga berdarah. Entah dr mana datangnya 🙁
I feel you! Pernah ngalamin dekompresi sampai seluruh penumpang diharuskan memakai masker oksigen, trus kuping sakit rasanya. Tapi pada saat itu yg ada hanya doa & kepasrahan, hamdallah bikin hati tenang, malah bisa ambil gambar buat dokumentasi in case something bad happens..
I feel you! 🙂
serem ya naik pesawat jauh-jauh. ada nggak sih ya pesawat yang khusus tidak melewati jalur-jalur yg berpotensi turbulensi gitu…
alhamdulillah… jadi mengingatkan saya supaya lebih banyak ibadah.. hehehe…
Subhanallah, astaghfirullah. Betapa kita harus selalu menjaga diri dalam kebaikan. Maut yang datang sewaktu-waktu tak memberi banyak waktu untuk bertobat. Makasih, Kak Vika, kami diingatkan.
Aku ikut deg-degan bacanya Mba Vika. Kita hanya bisa berdoa dan berserah saja. Semoga selalu aman dalam lindungan-Nya.
Wih, makasiihhh sudah mampir…
Duh itulah kalau naik pesawa
pesawat, kalau udah turbulence bisa bikin hati deg2an. Berdoa dalam-dalam. Semua
kegembiraan Naik pesawat Hilang seketika ( ya saya suka Naik pesawat) , walaupun Naik pesawat adalah moda transportasi teraman, tetap saja segala kemungkinan bisa terjadi. Kita cuman bisa berdoa Dan berserah. Itulah setiap Ada org mau terbang biasanya say suka komen Safe Flight. A little prayer counts
Ya Allah serem banget kak… Aku juga kalo di pesawat suka pasrah aja gitu.. belum pernah ngalami yg begini sih. Jangan sampe… Serem banget…. Huhuhu… Alhamdulillah cm berlangsung 20 menit. Ah itu lama sih…. Tp.. Yang tak maksud, alhamdulillah tidak terjadi apa apa…
Btw ini postingan awal tahun ya… Hehehe… Masih seru sih
Ini yg paling mencekam yg pernah aku rasain…
Keren, kak Vika! Aku seperti ikut merasakan sendiri kejadian itu. Sejauh ini, turbulensi terbesar yang pernah gue alami adalah di penerbangan Malindo Air Juli 2016 lalu.