Menyusun kembali memori yang pernah terjadi dan telah menjadi bagian dari hidupku di kota ini. Juni 1994 dengan kakek tercinta untuk pertama kalinya di sini. Hanya berat yang menggelayuti hati ketika harus melepaskan satu bagian dari cinta pertama yang sempat membuatku memanjatkan doa untuk kekuatan menjalani hari-hari yang terasa berat. Namun, jauh di kemudian hari, kusadari itu hanya sebuah kebodohan karena Bogor dan jiwanya telah memberiku keindahan lain. Baranangsiang, kampus, angkot, hujan, jembatan merah dan cerita-cerita di dalamnya yang akhirnya menumbuhkan cinta lain yang lebih indah.
Menyusuri setapak demi setapak kota kecil yang sudah menjadi bagian dari hidupku lebih dari sepuluh tahun. Baranangsiang dan kampus yang kini sudah menjelma menjadi pertokoan megah – meskipun sekitarnya sudah ditumbuhi pusat bisnis dan membuat Bogor tidak seperti dulu lagi- tidak akan pernah mampu mengubah semua yang telah terpatri di hati. Dulu, setiap sore , mahasiswa-mahasiswa itu dengan bola basketnya ada disana. Mengamati gerakan mereka dan membayangkan salah satu diantaranya adalah seseorang yang sempat kutinggalkan menjadikan kegiatan ini selalu membuatku tersenyum. Lalu, aku akan berteduh di pedagang buku kecil di bawah pohon tua dengan latar belakang si hijau yang berlalu lalang. Aku akan tetap disitu meski rinai hujan mulai membasahi ubun-ubun dan aku tetap membiarkannya membasahi rambutku. Menunggu titik-titik air itu reda kemudian berlari-lari kecil hingga turunan terjal di Cidangiang. Melewati asrama putri tua yang konon berhantu, deretan penjaja toge goreng, warung nasi“awas kepala” hingga akhirnya tiba di kostku yang lembab untuk segera menarik selimut dan terlelap di sore itu.
Kemudian ada Asrama Ekalokasari yang kini tak mau kalah juga menjadi mall. Aula asrama itu dulunya jadi salah satu tempat ujian. Pernah nyaris karena telat untuk sebuah ujian, karena gerbangnya jauh, jadilah aku dan seorang teman nekat melompati pagar disitu. Eh, tak dinyana, setelah keberhasilan bak atlet loncat galah, tertera papan dengan tulisan besar : “DILARANG MELOMPAT, KECUALI ANJING”. 😀
Berjuta warna pelangi di dalam hati (quote :matahariku, agnes monica), mengingat jejak jejak antara Tugu Kujang dan Suryakencana ketika pertama kalinya ia datang kesini. Hujan, sore itu hujan lagi dan tanpa sengaja kita bersentuhan. Dan pohon-pohon besar itu selalu jadi peneduh seperti teduhnya hatiku saat itu. Meski tujuh tahun setelah itu dengan pasti, kuharus relakanmu, semua kenangan itu akan selalu ada.
Kembali di sebuah sore di awal Desember, sore itu tidak gerimis, derasnya hujan membuatku basah kuyup. Tapi aku tidak peduli. Kubiarkan semuanya, sambil membayangkan segala memori yang pernah tercipta dan membimbing semua imaginasi bermain di kepalaku. Tak terbersit sedikit pun kisah sedih, yang ada hanya sejuta impian masa depan ditengah dingin yang kian menusuk. Tapi siapa yang sangka, sore itu adalah sore yang paling membekas dalam hidupku karena malamnya Ayahku dipanggil ke haribaan-Nya. Harusnya sore itu aku segera pulang, menelponnya untuk terakhir kali, mendengar suaranya dan bercerita hal-hal pendek yang tidak penting atau sekedar mengucapkan terima kasih karena weselnya sudah kuterima atau paling tidak berdoa untuk kesembuhannya. Lima bulan sebelumnya, meski penyakit itu sudah menggerogoti, ia rela berjuang demi menjenguk aku untuk pertama dan terakhir kalinya. Menghadiahi aku sebuah radio kecil, jam weker yang bunyi nyaringnya bisa membangunkan tetangga dan susu-susu kaleng strawberry yang rasanya lebih mirip obat batuk. Maafin Ika, Pa… I love you. Oya, kaos merah itu masih disimpen kok…
Mungkin itulah Desember tersuram yang pernah terjadi dalam perjalananku. Tetapi kehidupan toh harus terus berpindah, termasuk melalui masa-masa perkuliahan yang terkadang membosankan. Praktikum yang wajib tanpa bolos, kuliah lapang di pantai bernyamuk bahkan menyaksikan dengan mata sendiri seorang teman yang mati tenggalam sia-sia di waduk Cirata. Atau ikut dalam perploncoan mahasiswa baru yang seolah-olah mengukuhkan aku adalah kakak kelas yang digdaya padahal semua hanya kamuflase. Dan satu episode kecil; naksir seorang dosen yang pelit bicara,begitu tenang tapi menghanyutkan. Hampir setiap hari kutunggu ia datang dari koridor lantai tiga kampusku, untuk memastikan mobilnya sudah terparkir dibawah. Lalu menunggu saat-saat ketika harus bertemu dengannya, menatap matanya sambil membicarakan penyelesaian tugas akhir serta mencoba mengorek hal-hal yang tidak berhubungan. Ah, He was so cool!!
Begitu banyak jalinan persahabatan yang bermula disini. Cidangiang 41, Bateng 36, Balio 5A dan memori-memori yang membalutnya adalah bagian-bagian penting keberadaanku Bertemu dengan sekian banyak orang yang akhirnya pernah dan tetap menjadi bagian dari hidupku. Sahabat sahabat terbaik yang meskipun lama tak bersua, akan selalu ada di benakku. Yang mengingatkanku akan kebersamaan menikmati macetnya jalanan Bogor karena angkot yang merajelela, mencoba andong ke Kebun Raya, melalui keruwetanBaranangsiang-Darmaga, Gunung Gede, Al Ghifari dan sejenak mampir mengecap nikmatnya jajanan di Taman Kencana hingga menyusuri Cisarua hanya untuk segelas sekoteng dan jagung bakar di tengah kabut. I miss that moment!
Disini pula, untuk pertama kalinya; Aku, Lisa dan Kiky mencoba hidup mandiri. Walau kebersamaan itu hanya dalam hitungan kurang dari dua belas bulan. Suka duka yang dijalani bersama. Rumah kontrakan di Bantar Kemang yang dingin itu, yang nyaris kosong tanpa perabot. Tapi tetap jadi rumah yang hangat buat kita karena teman-teman yang berkunjung membuatnya tidak pernah sepi. Seandainya bisa, ini adalah salah satu bagian yang paling ingin kujalani kembali. Kenapa perasaan sayang itu selalu lebih besar ketika kita sudah kehilangan ? Lisa, Its almost nine years, sis. I miss you so much.
Pun ketika kehidupan kampus itu mulai kutinggalkan. Walau harus bergulat dengan dinginnya air mandi di pagi hari, bangun disaat mata masih susah diajak kompromi, melewati Jagorawi yang kian padat dan akhirnya bergumul dengan penatnya pekerjaan di Ibukota. Namun pada ujungnya, setiap malam Bogor akan selalu memberi kedamaian dan ketenangan untuk mengulang rutinitas yang sama esok harinya.
Sampai kapanpun selalu ada rindu untuk Bogor. Rindu tidur berkaus kaki, rindu sayuran segarnya, rindu soto bogor di pinggir jalan, rindu tukang pisang buta yang setiap hari melintas di depan rumahku, rindu petirnya yang menyambar-nyambar, rindu tidur siang lelapku, rindu menatap siluet Gunung Salak dari jembatan itu, rindu semua kedamaian yang dibawa angin lewat jendela rumahku dan rindu semua cita dan cinta yang pernah tercipta disana.
Wah tambah jago yah nulisnya 😛 terenyuh juga aku membacanya…uhuks…;-)
everyone has a memory, no matter what memories you’re in.
if memory can make ur life is more colourful, pls enjoy n keep it.
Ikut sedih baca episode Desember…;(
Oh ya..Aceh gimana ?